KATA korupsi tentu sangat akrab di telinga setiap kita. Dari berbagai media kita dapat mengetahui bagaimana rupa dari korupsi sendiri. Di internasional dan nasional, korupsi sudah sangat familiar. Korupsi tidak hanya berkaitan dengan penggelapan uang negara, tetapi juga antara kelompok kecil bahkan antar pribadi penyelewengan dapat terjadi.
Dari zaman sebelum merdeka hingga sudah merdeka, korupsi dilakukan oleh pimpinan. Karena apa? Alasannya adalah karena mereka punya hak dan kekuasaan. Dalam hukum dan dalam ajaran agama, hak dan kewajiban manusia adalah sama. Namun, letak perbedaannya adalah kekuasaan. Pada abad 21 ini korupsi masih tampak. Kalau dihitung-hitung, korupsi seperti warisan negatif yang tak tau dimana ujungnya.
Diberbagai bidang kehidupan, korupsi selalu ada. Korupsi bukan hanya tentang uang, tetapi juga waktu dan kesempatan. Bukan saja orang dewasa yang berlaku begitu, anak yang dalam masa pertumbuhan pun dapat melakukannya.
Korupsi adalah salah satu hal yang menyebabkan Indonesia belum dapat menjadi negara yang maju. Karena korupsi, keadilan tak terbentuk secara utuh. Misalnya, seseorang diberi wewenang untuk mengelolah sebuah daerah dengan dana yang tak sedikit. Namun karena kecerobohon dan sikap cinta uang, penggelapan terjadi. Sehingga proses pengelolaan ditunda – tunda karena kekurangan dana. Sikapnya tersebut telah menunjukkan ia telah menggelapkan uang, waktu dan kesempatan.
Bukan hanya cinta, namun uang juga dapat menggelapkan mata dalam sekali pandangan. Banyak daerah yang proses pembangunannya terbengkalai karena dipimpin oleh orang tak bertanggung jawab. Sehingga julukan “Daerah 3T” masih berlaku di Indonesia.
“Masa bodoh hilang harga diri asal tak terbukti ya tentu sikat lagi…” demikian lirik lagu Iwan Fals. Tak meleset dari fakta yang ada. Intinya di kantong selalu tebal.
Perihal dikejar wartawan, dipanggil KPK, dijemput langsung di rumah. Semuanya urusan belakang. Pikiran yang pendek yang berakibat panjang. Di negara tetangga, orang yang melakukan korupsi di hukum habis-habisan bahkan sampai pada hukuman di tembak mati. Seperti Malaysia yang hukumannya digantung, Singapura di hukum mati, dan negara lainnya. Miris tentunya, tapi itulah ancaman yang menyadarkan. Negara jadi maju dan rakyat hidup aman. Semua pasti takut sebab hukuman yang akan dijatuhkan seakan memperpendek usia.
Dalam kehidupan harus bisa melihat kebelakang dan menerawang masa depan. Semua harus dipelajari secara autodidaktik. Guru terbaik berasal dari diri sendiri, orang lain hanya pelengkap. Kehidupan ke depan tak ada yang tahu. Jadi berlakulah sesuai dengan hukum yang berlaku. UU dibuat untuk ditaati bukan jadi pajangan belaka.
Masyarakat Indonesia masa kini seakan ‘bodoh amat’ tentang Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi dasar negara. Tak tahu hal kalau untuk membentuk dasar itu membutuhkan perjuangan dan inisiatif yang berat. Jika para veteran masih hidup, mereka akan sedih melihat negara ini yang sudah berubah ± 1800.
Sejuah ini dapat dilihat bahwa korupsi dilakukan oleh para pemimpin dan orang yang hidupnya diatas rata-rata. Entah apa faktor pendorongnya, tapi apakah tak pikir konsekuensinya. Penggelapan uang utamanya dilakukan secara diam-diam. Artinya, uang tersebut digunakan secara diam-diam tanpa ada yang mengetahuinya. Setelah terungkap tindakan tersebut barulah disebut korupsi, dan orang yang bertindak disebut koruptor. “Sejauh mana bangkai disimpan, pasti akan tercium juga”, itu kata pepatah.
Andaikan ada penegak keadilan seperti Alm. Artidjo Alkostar, maka para koruptor akan mati kutu. Bagaimana tidak, Artidjo menolak di sogok/suap. Malah ia menambah masa tahanan untuk para koruptor. Ia menjabat sebagai anggota Dewan pengawas KPK periode 2019-2023.
Apakah mereka tak takut dipenjarakan? Ya namanya juga pejabat, kalau dipenjarakan juga toh nantinya hidup layak.
Perbuatan ini termasuk maksiat. Sikap nasionalisme dan patriotisme yang seharusnya tumbuh dan berkembang, kini kembali terkubur. Seharusnya persada kita Indonesia hidup berkeadilan. Dengan hidup yang adil tentunya derajat bangsa ditinggikan, tapi jika tidak maka akan menjadi noda bangsa.
Krisis moneter tidak hanya terjadi pada masa lalu, secara tak sadar sudah terjadi dimasa kini dan akan berdampak di masa mendatang. Jika korupsi masih dapat terjadi, maka utang negara semakin tinggi. Kesadaran itu penting karena punya kaitan dengan harga diri. Sama halnya dengan narkoba, korupsi juga mengakibatkan kecanduan apabila kedoknya belum terbongkar.
Dalam rangka memperingati hari Anti Korupsi Sedunia di SMA 57 Jakarta Senin (9/1), Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa hukuman mati bagi para koruptor bisa diterapkan asalkan masyarakat punya aspirasi yang kuat terhadap hal ini dan DPR akan merevisi UU-nya. Namun semua itu tergantung dari legislatif, lanjutnya.
Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo, mengkritisi pernyataan Jokowi yang bertolakbelakang dengan pemberian garasi bagi para koruptor. ICW menyarankan agar Presiden mengambil langkah yang lebih nyata dalam memberantas korupsi, salah satunya dengan menerbitkan Perpu KPK.
Untuk para penegak keadilan, jangan mau di sogok. Pada dasarnya manusia membutuhkan uang, tapi tidak dengan cara yang tak terpuji. Ada saja hakim yang mau di sogok, dengan mengurangi masa tahanan padahal hukum sudah mengatur. Di setiap media pasti ditayangkan bahwa jika rakyat kecil berada di meja hijau, hukuman yang dijatuhkan cukup berat. Tapi sebaliknya dengan orang ber-uang, tidak terlalu dibebankan. Orang awam pasti bertanya “apa maksudnya?”
Apalagi saat ini pandemi covid 19 sedang merajalela, ada oknum tertentu yang memanfaatkan hal ini untuk mencari upah. Upah yang bersifat gelap. Cara mereka melakukannya pun terang-terangan, tapi siapa yang berani melapor karena ujungnya juga diancam.
Sudahilah perilaku jelek ini. Masa penegak hukum langgar hukum. Jadi ingat kata Obbie Mesakh “sungguh aneh tapi nyata…”. Pemerintah dan masyarakat harus saling melengkapi dalam memerangi hal-hal yang aromanya tidak bagus untuk kehidupan bangsa. Mari berjuang untuk masa depan bangsa.(***)