Kantor Bahasa NTT Kembali Gelar Festival Tunas Bahasa Ibu Di Alor, Libing: Kita Buat Perda

Pj Bupati Alor Dr. Drs. Zeth Sony Libing, M.Si foto bersama peserta festival usai membawa sambutan dalam kegiatan Festival Tunas Bahasa Ibu | FOTO: JONI KANAIRMAIH

Kalabahi, wartaalor.com – Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur menggelar Festival Tunas Bahasa Ibu (Bahasa Abui, Adang dan Kabola) di Kabupaten Alor, Selasa, 21 November 2023 pagi hingga malam. Festival ini berlangsung di Taman Deswita Kelurahan Kalabahi Kota Kecamatan Teluk Mutiara dan merupakan kedua kalinya setelah tahun lalu juga digelar kegiatan yang sama di Kalabahi.

Pj Bupati Alor, Dr. Drs. Zeth Sony Libing, M.Si yang membuka kegiatan tersebut mengatakan, Pemerintah Kabupaten Alor menyampaikan rasa terima kasih kepada Kantor Bahasa NTT yang punya inisiasi menyelenggarakan kegiatan festival. Kegiatan ini, menurut Libing, memiliki dampak positif yang luar biasa karena telah membantu merevitalisasi bahasa daerah di Kabupaten Alor.

Bacaan Lainnya

“Kabupaten Alor adalah salah satu kabupaten di NTT yang memiliki bahasa daerah terbanyak. Tetapi dalam perkembangan bahasa daerah hampir punah. Sehingga untuk mempertahankan perlu ada kegiatan seperti ini,” ujar Libing.

Libing berharap agar kegiatan semacam ini terus berlanjut dengan begitu kita meninggalkan warisan yang luar biasa kepada anak cucu. Dia menegaskan, Pemerintah Kabupaten Alor melalui Dinas Pendidikan juga akan membuat peraturan daerah tentang bahasa daerah.

“Kita akan buat peraturan daerah. Kalau bisa bapak kadis tolong tugaskan staf secepatnya koordinasi dengan bagian hukum. Supaya pulang dari kegiatan PGRI di Maritaing nanti peraturan daerah sudah ada dan saya sudah bisa tanda tangan,” pungkas Libing sembari meminta Kepala Dinas Pendidikan Ferdi Isak Lahal, SH yang turut hadir dalam kegiatan tersebut agar membuat draft peraturan daerah tentang bahasa daerah atau bahasa ibu.

Libing juga meminta kepada peserta festival yang merupakan pelajar SD dan SMP agar mengikuti kegiatan ini dengan baik, penuh semangat serta sportif.

“Kalah menang tetap semangat. Harus sportif, artinya kalah menang harus terima. Dan tahun depan kita akan buat kegiatan lagi,” pungkas Pj Bupati Libing.

Pj Bupati Alor Dr. Drs. Zeth Sony Libing, M.Si menyampaikan sambutan

Sebelumnya, Kepala Kantor Bahasa NTT, Elis Setiati, S.Pd.,M.Hum dalam sambutan tertulis yang dibacakan Ketua Tim Kerja Administratif, Irwan Alfreed Pellondou, S.Kom mengatakan, kegiatan yang digelar merupakan Program Merdeka Belajar Episode ke-17 tentang Revitalisasi Bahasa Daerah di Kabupaten Alor.

Irwan mengatakan, Indonesia merupakan negara kedua setelah Papua Nugini yang kaya dengan bahasa daerah. Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Indonesia memiliki 718 bahasa daerah.

“Bagi bangsa Indonesia, bahasa daerah sesungguhnya merupakan aset. Bahasa daerah merupakan salah satu kekayaan kultural bangsa Indonesia yang berbineka.
Kelahiran bangsa Indonesia tidak terlepas dari keberagaman budaya yang ada di dalamnya, termasuk bahasa-bahasa setiap suku bangsa dan kelompok masyarakat tutur yang lebih kecil,” pungkas Irwan.

Merawat dan memperlakukan warisan budaya tak benda seperti bahasa daerah, lanjut Irwan, tentu saja berbeda dengan cara melihat aset berupa benda. Bahasa daerah merekam kearifan lokal, khazanah pengetahuan dan kebudayaan, serta kekayaan batin penuturnya.

Kepunahan bahasa daerah sama artinya dengan hilangnya aset-aset tak benda yang terekam di dalam bahasa daerah tersebut. Lebih dari tiga perempat bahasa daerah terdapat di wilayah timur Indonesia, dengan jumlah penutur yang rata-rata semakin berkurang. Akibatnya, ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah seperti ini menjadi sangat kuat.

“Situasinya akan makin parah kalau tidak ada keberpihakan dari penuturnya dan dari pemerintah daerah setempat.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengembangan dan pelindungan bahasa, sastra, dan aksara daerah adalah tanggung jawab pemerintah daerah,” jelas Irwan.

Dia mengatakan, Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Tugas Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa. Mandat Pelindungan Bahasa dan Sastra di Indonesia dalam UU No. 24 Tahun 2009, pasal 42 ayat 1,2, dan 3, menyatakan “Pelindungan Bahasa dan Sastra daerah dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan (Badan Bahasa). Dalam hal ini adalah Satker di daerah yaitu Kantor Bahasa Provinsi NTT.

Dikatakan Irwan, ada empat faktor penyebab kemunduran atau bahkan kepunahan bahasa daerah. Pertama, sikap penutur bahasa daerah terhadap bahasanya. Kedua, migrasi atau mobilitas sosial yang tinggi. Ketiga, adanya perkawinan dengan pasangan yang berbeda bahasa. Keempat, bencana atau musibah yang menyebabkan berkurangnya penutur bahasa daerah.

Dari keempat faktor itu, kata Irwan, sikap penutur bahasa kepada bahasa daerahnya menjadi penyumbang terkuat terhadap kepunahan sebuah bahasa daerah. Sikap kita yang acuh tak acuh, dan sikap generasi muda yang tidak peduli dengan bahasa daerah/bahasa ibunya. Mereka tidak lagi antusias menggunakan bahasa daerah bahkan cenderung malu ketika berkomunikasi dengan orang lain meskipun berasal dari bahasa yang sama.

Apalagi, ketika para penutur bahasa daerah memandang bahasa daerahnya tidak lagi fungsional, kurang bergengsi, tidak keren, atau bahkan kampungan, keadaan dan cara pandang seperti itu menjadi pintu gerbang pertama bagi bahasa daerah untuk memasuki keranda matinya.

Irwan membeberkan, dari sisi ekonomis, upaya revitalisasi bahasa memang usaha yang hasilnya tidak “nyata” secara materi, tetapi gerakan ini merupakan perjuangan untuk memberikan sumbangan signifikan dalam rangka menjaga kekayaan batin bangsa (sesuatu yg menyangkut jiwa [perasaan hati, dsb]; semangat; hakikat). Jika bahasa daerah punah maka hilanglah juga jati diri kita serta kekayaan tradisional lisan yang ada di dalam bahasa tersebut.

“Apalagi bahasa-bahasa di NTT memiliki nilai-nilai dan ajaran moral yang harus dilestarikan. Telah banyak upaya pelestarian bahasa daerah yang dilakukan. Pemerintah pusat, melalui Badan Bahasa dan unit pelaksana teknisnya di 30 provinsi, banyak melakukan kerja sama dengan pemangku kepentingan setempat. Upaya itu bukan tidak berhasil, melainkan belum optimal,” ujarnya.

Tampaknya, lanjut Irwan, kekurangoptimalan itu terjadi karena pelindungan bahasa daerah belum dilandasi pemikiran yang komprehensif/holistik dan integratif. Dikatakan tidak komprehensif, karena hanya mengambil bagian kecil dari pelindungan bahasa, yaitu mendokumentasikan aspek kebahasaan dan mementaskan sastra lokal bersama masyarakat tutur.

Sehubungan dengan itu, inisiatif untuk mengubah arah dan praktik pelindungan bahasa daerah mulai digulirkan Badan Bahasa. Pelindungan bahasa yang awalnya lebih dipahami sebagai bentuk proteksi dibuat lebih dinamis melalui konsep revitalisasi. Program revitalisasi bahasa daerah merupakan tahapan strategis setelah upaya pemetaan bahasa, pengukuran daya hidup/vitalitas bahasa, dan upaya konservasi bahasa.

Revitalisasi bahasa daerah yang dimotori Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek)—merupakan salah satu dari program pelindungan bahasa daerah yang bertujuan untuk menggelorakan kembali penggunaan bahasa daerah dalam berbagai ranah kehidupan sehari-hari dan meningkatkan jumlah penutur muda bahasa daerah.

Upaya ini dilakukan sebagai cara menghidupkan kembali hasrat dan minat penutur bahasa daerah untuk menggunakan bahasanya. Pendekatan revitalisasi ini dilakukan dengan model revitalisasi dengan tetap memperhatikan karakteristik daerah dan bahasanya.

Bahkan, untuk memperkuat upaya ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan Merdeka Belajar Episode Ke-17 yang bertajuk Revitalisasi Bahasa Daerah pada Selasa, 22 Februari 2022. Peluncuran kebijakan ini bertepatan dengan momen Hari Bahasa Ibu Internasional pada 21 Februari 2022.

Revitalisasi yang diusung Kemendikbudristek ini merupakan pendekatan baru untuk revitalisasi bahasa daerah di Indonesia. Pendekatan revitalisasi dalam MB-17: RBD tersebut didasarkan pada empat prinsip, yakni dinamis, adaptif, regenerasi, dan merdeka berkreasi.

Irwan menguraikan, program revitalisasi berprinsip dinamis karena berorientasi pada pengembangan dan bukan sekadar memproteksi bahasa tersebut dengan tetap adaptif terhadap situasi lingkungan masyarakat tutur atau lingkungan sekolah. Aspek regenerasi dalam revitalisasi juga difokuskan pada penutur muda agar pewarisan dapat dijamin keberlanjutannya, terutama pada anak usia sekolah dasar dan menengah.

Sesuai semangat Merdeka Belajar, program MB-17: RBD ini juga mendorong para penutur bahasa daerah untuk merdeka berkreasi dalam penggunaan bahasanya.

“Tujuan akhir dari program MB-17: RBD ini adalah agar para penutur muda dapat menjadi penutur aktif bahasa daerah dan memiliki kemauan untuk mempelajari bahasa daerah dengan penuh sukacita melalui media yang mereka sukai. Di samping itu, MB-17: RBD juga bertujuan agar kelangsungan hidup bahasa dan sastra daerah terjaga; bahasa dan sastra daerah menemukan fungsi dan ranah barunya; dan dapat tercipta ruang kreativitas dan kemerdekaan bagi para penutur bahasa daerah untuk mempertahankan bahasanya,” ujar Irwan.

Kegiatan Revitalisasi Bahasa Daerah di kabupaten Alor ini sudah menginjak tahun kedua. Pada tahun 2022 Bahasa yang direvitalisasi hanya Abui dan sekarang ditambah Bahasa Adang dan Kabola. Masih banyak Bahasa Daerah di kabupaten Alor ini butuh perhatian kita untuk direvitalisasi, tapi tentunya harus didukung penuh oleh pemerintah daerah itu sendiri.

“Kegiatan FTBI ini adalah tahapan terakhir dari beberapa tahapan yang dilalui, seperti Pra-Koordinasi, Koordinasi dan Diskusi Kelompok Terpumpun dengan Maestro, dan  para pemangku kebijakan di daerah, Pelatihan Guru Master atau Guru Utrama, Monitoring dan Evaluasi, dan terakhir adalah FTBI,” jelasnya.

Ia berharap semoga FTBI yang kedua kali ini menjadi ajang pembelajaran bagi siswa dan komunitas untuk memiliki mental juara. Jangan gusar apabila tidak terpilih menjadi yang terbaik dan terus rendah hati apabila terpilih menjadi terbaik.

“Semoga kehadiran guru dan pendamping juga menjadi penyemangat dan motivator utama yang selalu sabar dalam membimbing siswanya baik saat kalah atau menang. Semoga juri menjadi penilai yang profesional dan objektif sesuai dengan bidangnya masing-masing,” ujarnya.
 
Kami berterima kasih atas dukungan pemerintah daerah  Kabupaten Alor yang bersama-sama Kantor Bahasa Provinsi NTT memjadikan kegiatan FTBI dapat  dilaksanakan pada hari ini. Kami berharap ke depannya Pemerintah Daerah mampu melaksanakan program RBD secara mandiri dan mampu melaksanakan FTBI di tingkat kecamatan agar pengimbasannya lebih luas lagi dan ditunggu-tunggu oleh seluruh masyarakat Alor dalam melindungi dan melestarikan bahasa daerahnya.

“Kami berharap, melalui kegiatan ini, eksistensi bahasa daerah dapat kembali bangkit, dan semakin digemari semua generasi, khususnya generasi muda. Semoga kegiatan ini dapat menjadi ruang apresiasi yang baik agar kita semua semakin bangga menggunakan bahasa daerah, bukan menjadi malu apalagi tidak mau tahu. sebab kemana pun kita pergi, sejauh apa pun kita melangkah bahasa daerah adalah rumah yang terbaik dan terindah. Jangan biarkan punah dan mari kita lestarikan bersama dan salah satunya melalui Program RBD Bahasa Abui, Adang, dan Kabola,” ujarnya.

Seperti pantauan wartaalor.com kegiatan festival ini berlangsung dengan melibatkan peserta didik SD dan SMP dalam wilayah Abui, Adang dan Kabola. Mereka menampilkan pantun, cerita pendek dalam bahasa daerah. Kegiatan ini diakhiri dengan pengumuman bagi peserta yang juara. ***(joka)

Pos terkait