Kisah Pasutri Penenun Dari Lembah Atengmelang Alor, Usahanya Bertahan di Tengah Pandemi

Paul Maleta dan seorang sahabat memperlihatkan kain selendang hasil tenun istrinya, Dewy Hoyata usai bincang-bincang bersama Wartawan di Sailor Cafe Kalabahi. FOTO JOKA

KALABAHI, WARTAALOR.com – Paul Maleta dan Dewi Hoyata, adalah pasangan suami istri (pasutri) yang saat ini berdomisili di Atengmelang Desa Lembur Tengah Kecamatan Alor Tengah Utara (ATU) Kabupaten Alor, NTT. Aktivitas  keseharian keduanya sebagai penenun, disamping ada usaha lainnya.

Menenun pada umumnya merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh ibu-ibu di sejumlah tempat di kabupaten Alor pulau julukan Seribu Moko ini. Bukan hanya sekedar kegiatan, mereka melakukan ini sebagai mata pencaharian tambahan guna membantu suami mereka dari apapun profesi yang digelutinya.

Bacaan Lainnya

Seperti yang dilakukan oleh Dewy Hoyata dan suaminya Paul Maleta. Meskipun Dewy yang punya ‘talenta’ dalam urusan tenun, tetapi usaha ini boleh dikatakan bisa berjalan dengan baik tidak terlepas dari dukungan seorang suami. Bahkan bisa bertahan di tengah pandemi Covid-19 yang mengancam semua sendi kehidupan masyarakat.

Ketika berbincang-bincang bersama Wartawan di Sailor Cafe, Kelurahan Kalabahi Kota Kecamatan Teluk Mutiara, Rabu, (22/9/21), Paul Maleta mengisahkan usaha kain tenun yang ia geluti bersama istrinya kini berjalan 3 tahun.

“Usaha ini bukan milik kelompok tetapi perorangan. Yang kerja (tenun) juga istri saya sendiri, dan saya hanya membantu dengan cara promosi dan juga penjualan,” jelas Paul Maleta.

Sementara itu, lanjut Paul, jenis kain tenun yang diproduksinya juga macam-macam, seperti sarung, selimut dan selendang sesuai harga bervariasi. Bagi yang berminat bisa juga memesan terlebih dahulu agar proses tenun sesuai selera.

“Jadi kain tenun yang kami produksi bisa menggunakan motif apa saja, baik itu motif gajah, kura-kura, ikan dan beberapa motif lainnya. Kami juga bisa buat motif suku dari Kolana tiruan. Bisa juga tulis nama dengan harga variasi, seperti kalau selendang polos Rp 50 ribu, kalau pakai tulis nama Rp 100 ribu. Begitu juga kain sarung, polos Rp 400 ribu, tulis nama Rp 500 ribu,” ungkap Paul.

Dia menambahkan, bahan dasar benang yang digunakan untuk tenun pun juga benang toko. Menurut Paul, pihaknya tidak bisa menenun dengan bahan baku benang buatan dari kapas secara tradisional, sebab saat ini proses pembuatan benang dari kapas cukup ribet akibat alat pembuatan benang yang sudah langka. 

Dirinya bangga karena hasil kerjanya beberapa waktu lalu penjualannya sempat mendunia meski dalam jumlah sedikit. Melalui pemberitaan media ini, Paul menghimbau bila ada yang berminat, bisa menghubungi via inbox atau langsung saja ke Atengmelang.

“Kami sudah pernah kirim ke Singapura dan Malaysia. Waktu orang pesan.. tapi tidak banyak, sedikit saja. Terus baru-baru ini kami kirim lagi ke Sumba dan Jakarta,” ujar Paul sembari mengharapkan agar usaha tersebut mendapat support dari semua pihak, terutama pemerintah dari sisi penganggarannya. ***(joka)

Pos terkait