Meningkatnya Harta Kekayaan Pejabat Ditengah Rintihan Masyarakat Akibat Pandemi

KETIKA si siput sang pedagang koran membaca berita di smartphonenya yang memberitakan laporan LHKPN terkait meningkatnya harta kekayaan pejabat negara mulai dari Presiden beserta jajaran kementeriannya tiba-tiba saja si siput langsung melempar smartphonenya ke dinding kamar kusamnya. Amarah si siput memuncak bahkan sampai wajahnya memerah dan dahinya mengkerut serta matanya melotot.

Rasanya sudah cukup untuk ia menaruh harapan dan percaya pada pejabat negara yang nyatanya selalu menumbalkan masyarakat disetiap kebijakan yang mereka sepakati.

Bacaan Lainnya

Per 16 September 2021, secara kumulatif terdapat lebih dari 225 juta kasus terkonfirmasi dengan hampir 5 juta orang meninggal. Sementara di Indonesia, per hari yang sama, terdapat lebih dari 4 juta kasus terkonfirmasi dengan hampir 140 ribu orang meninggal.

Ditengah carut marutnya penanganan penyebaran wabah virus covid-19 di Indonesia yang tidak terkendali, ternyata wabah korupsi di Indonesia juga ikut tidak terkendali. Operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK saat pandemic berhasil menjerat 2 Menteri Kaninet Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf masing-masing Edy Prabowo Menteri Perikanan dan Kelautan dan Juliari P Batubara Menteri Sosial.

Selain itu, Ketua KPK, Firly Bahuri pada September 2020 mendapatkan sanksi etik teguran tertulis II untuk gaya hidup mewah menaiki helicopter saat pulang kampung ke Palembang serta berita terbaru yang sangat kontroversial perihal penonaktifan 75 pegawai KPK termasuk 20-30 penyelidik dan penyidik yang jadi motor pemberantasan korupsi.

Berdasarkan data dari Indonesia Coruption Watch (ICW) penindakan kasus penyalahgunaan anggaran Covid-19 yang tercatat selama semester I tahun 2021 hanya ada 5 kasus antara lain:

Kasus dugaan korupsi pengadaan 15.000 masker di provinsi Banten yang merugikan keuangan negara sekitar Rp. 1,6 Miliar;

Kasus dugaan korupsi pengadaan alat darurat di Bandung Barat yang melibatkan AA Umbara, Bupati Bandung Barat;

Kasus dugaan pemotongan dana bansos di Desa Cipinang, Kabupaten Bogor;

Kasus dugaan pemotongan BLT di Desa Totok, Sumba Barat Daya, NTT;

Kasus dugaan penyalahgunaan anggaran covid-19 di Kabupaten Mamberamo Raya yang melibatkan Dorinus Dasinapa, Bupati Mamberamo Raya (ICW: Hasil

Pemantauan tren Penindakan Kasus Korupsi Semester I Tahun 2021).

Laporan Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan pada Selasa, 7 September 2021 terkait kenaikan kekayaan pejabat atau penyelenggara negara selama pandemic covid-19 membuat public tercengang. Jumlah pejabat negara yang hartanya mengalami kenaikan mencapai 70,3 persen. Pasalnya, kenaikan harta kekayaan pejabat negara maupun pejabat daerah terjadi disaat sebagian besar masyarakat mengalami keterpurukan kondisi ekonomi akibat dampak pandemic covid-19.

Walaupun sudah mengacu pada Undang-Undang No.40/2004 bahwa pemerintah harus memenuhi kebutuhan dasar seluruh rakyat, ternyata masih diperlukan perbaikan.

Setelah kasus covid-19 di Indonesia mengalami peningkatan sangat cepat, pemerintah membuat kebijakan untuk mengatasi pandemic covid-19 dengan pemberlakuan PSBB yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020. Akibat kebijakan tersebut, semua kegiatan terpaksa dihentikan. Bentuk nyata dari dampak pandemic covid-19 terhadap sector ekonomi adalah PHK massal.

Banyak karyawan yang dirumahkan karena perusahaan mereka yang terancam bangkrut. Sebanyak 114.340 perusahaan telah melakukan PHK dan merumahkan tenaga kerja dengan total pekerja yang terkena telah mencapai angka 1.943.916 orang perusahaan dengan presentase 77% sector formal dan 23% dari sector informal (Kemnaker. 2020).

Jelas sekali bahwa dampak yang dirasakan oleh pejabat negara dan pekerja sector formal maupun sector informal selama pandemic covid-19 sangat timpang. Disatu sisi, pejabat negara mengalami peningkatan kekayaan sedangkan pekerja sector formal maupun informal mengalami penurunan secara drastis. Artinya, ketidakadilan dalam sector ekonomi di tengah pandemic covid-19 memiliki motif yang dapat kita telusuri untuk mengetahui motif apa yang menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi.

Peningkatan harta kekayaan pejabat negara juga merambat ke pejabat daerah. Berdasarkan data dari LHKPN, harta kekayaan Pejabat daerah Kabupaten Alor ditengah pandemic covid-19 mengalami peningkatan yang signifikan. Data tersebut dapat dilihat pada table berikut:

Sumber: LHKPN 2020

Peningkatan harta kekayaan pejabat daerah di tengah pandemic covid-19 tersebut merupakan berita yang perlu di soroti bersama. Kekayaan pejabat daerah dapat dihitung secara kumulatif berdasarkan gaji, tunjangan dan dana lain-lain yang merupakan insentif yang mereka dapatkan dari negara. Selain itu, dapat juga ditambah dengan profit dari usaha atau bisnis yang mereka miliki. Namun, secara etis, peningkatan harta kekayaan sebagai orang (pejabat negara-pejabat daerah) ditengah jeritan histeris masyarakat kecil yang masuk dalam kubangan keterpurukan ekonomi akibat dampak pandemic covid-19 sangatlah tidak pantas.

Berdasarkan berita resmi BPS Alor dalam angka 2020 Pada bulan Maret 2020, secara absolut jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Kabupaten Alor mencapai 43,55 ribu orang, turun sebesar 0,77 ribu orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2019 yang sebesar 44,32 ribu orang.

Persentase penduduk miskin (P0) juga turun dari 21,59 persen pada Maret 2019 menjadi 21,09 persen pada Maret 2020. Periode Maret 2019 – Maret 2020, Garis Kemiskinan (GK) naik sebesar 7,97 persen, yaitu dari Rp. 311.560,- per kapita per bulan pada Maret 2019 menjadi Rp. 336.402,- per kapita per bulan pada Maret 2020.

Pada periode Maret 2019 – Maret 2020, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengalami penurunan. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) turun dari 4,13 pada Maret 2019 menjadi 2,92 pada Maret 2020. Penurunan juga terjadi pada Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) yaitu turun dari 1,07 menjadi 0,58 pada periode yang sama (Tingkat Kemiskinan Kabupaten Alor Tahun 2020 No. 07/12/5307/Th. IV, 15 Desember 2020).

Selanjutnya, ditengah pandemic covid-19 yang belum menunjukan penurunan kasus dan kapan akan berakhir, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kalabahi mengalami kekurangan anggaran mencapai Rp. 6,8 Miliar. Besaran biaya itu dikalkulasi berdasarkan sejumlah utang termasuk pengadaan obat-obatan, tunjangan nakes dan dokter spesialis yang belum dibayar di tahun 2021, juga kekurangan dana untuk penanganan covid-19. Pasalnya, bila bila usulan penambahan anggaran tersebut tidak mendapat persetujuan di Komisi III maka Direktur RSD Kalabahi, dr. Ketut Indradjaja Prasetya memastikan RSD akan collaps menangangi covid jika pandemic terus naik (tribuanapos.net “Utang Menumpuk RSD Kalabahi Minta Tambahan Dana Rp. 6,8 M).

Adapun polemik lainnya yang diduga melibatkan pejabat daerah Kabupaten Alor yang harta kekayaannya meningkat di tengah pandemic covid-19 yang dapat dilacak melalui pemberitaan media-media di Alor yakni relokasi pedagang pasar Kadelang ke Pasar Lipa Kalabahi. Konflik Bupati Alor dan Ketua DPRD Kabupaten Alor yang berujung pada perdamaian yang dimediasi oleh Tim 9 yang diketuai oleh mantan Wakil Bupati Alor Drs. H. Jusran Tahir, proyek jalan Desa Wolwal tengah yang melibatkan nama Bupati Alor, dan polemic lainnya yang mungkin belum terekspose oleh media massa.

Memang miris jika kita melihat berbagai konflik kepentingan yang terjadi di Kabupaten Alor akhir-akhir ini yang banyak melibatkan pejabat daerah. Bukankah, ditengah pandemic covid-19 ini mereka seharusnya bahu membahu membersama masyarakat untuk sinergis menangani wabah tersebut. Karena, dampak dari pandemic ini justru sangat dirasakan oleh masyarakat kecil yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan akibat kebijakan pembatasan social yang diterapkan pemerintah pusat sampai ke daerah.

Berdasarkan Undang-Undang No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan pasal 6 menyebutkan bahwa “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan kekarantinaan Kesehatan”. Artinya, jika kebijakan pembatasan social yang diterapkan oleh pemerintah dengan merumahkan para pekerja atau membatasi kegiatan yang dapat memicu perkumpulan dalam massa yang besar sehingga semua kegiatan harus dilakukan dari rumah maka pemerintah bertanggunjawab untuk memfasilitasi serta menyiapkan segala bentuk keperluan untuk masyarakat.

Namun, fakta yang terjadi di lapangan menunjukan hal yang berbeda. Pemerintah membatasi kegiatan social tanpa jaminan menyiapkan segala bentuk keperluan masyarakat agar tetap di rumah. Masyarakat yang membangkang dan tetap bekerja semata-mata adalah demi dapat bertahan hidup ditengah pandemic covid-19. Masyarakat tidak takut dengan segala macam pemberitaan media mengenai bahaya pandemic covid-19 karena mereka lebih takut akan virus kelaparan jika mereka tidak bekerja untuk mendapatkan uang.

Selebihnya, penulis memberikan kebebasan kepada para pembaca untuk menyimpulkan dan menilai kinerja pejabat daerah di tengah pandemic covid-19 dengan sandaran beberapa data yang telah dipaparkan di atas. Bukankah suara rakyat yang selalu di eluh-eluhkan ketika menjelang pesta demorasi (Pemilu)? Ya, karena suara rakyat yang merupakan legitimasi atas kedudukan dan jabatan pejabat daerah. Maka suara rakyat yang selalu dibungkam oleh rezim neolib (Jokowi-Ma’ruf) dengan segala macam upaya pembungkaman yang represif harus kita lawan demi menjaga substansi praktek demokrasi.

Pandemic covid-19 tak berkesudahan, namun segala bentuk praktek pembungkaman, korupsi, dan kriminalisasi harus kita hentikan dengan segala macam daya dan upaya. Bila perlu dengan nyawa sekalipun. (***)

Pos terkait