Kalabahi, wartaalor.com – Masyarakat adat mewakili 4 suku, yakni Suku Talang, Tambalo, Talon dan Suku Tampada meminta dengan tegas PT. Tunas Baru Abadi (TBA) untuk setop melakukan aktivitas penambangan bahan material galian golongan C di Koimota Desa Taramana Kecamatan Alor Timur Laut Kabupaten Alor, NTT. Mereka memasang plang atau tanda larangan persis di jalan masuk lokasi tambang batu pasir itu pada, Kamis, (25/7/24) siang.
Alasan meminta setop karena aktivitas ini telah merusak tanah ulayat. Perusahaan ini juga diduga tidak mengantongi dokumen izin tambang.
Kuasa Hukum Masyarakat Adat, Marthen Maure, S.H menegaskan, PT. TBA diduga hanya mencari keuntungan, sebab material batu pasir yang diambil tidak dibayar kepada masyarakat adat selaku pemilik tanah ulayat. Padahal batu pasir untuk proyek pekerjaan ruas jalan status jalan negara Taramana menuju Maritaing Kecamatan Alor Timur ini ada perhitungan harga kubi kasi yang diatur dalam ketentuan yang berlaku.
Belum lagi material yang diambil untuk proyek pekerjaan jalan negara Tanaman-Maritaing diduga tidak melalui uji laboratorium.
Kuasa Hukum Masyarakat Adat saat memberikan keterangan kepada Wartawan di Kampung Yagadi Desa Taramana
Marthen Maure melayangkan surat somasi kepada pihak PT. TBA, Yohanes Molambaku, Ambroius Leba, M.Malelab, Alfarug Yusuf, Barna Suae dan Kepala Desa Taramana. Dalam surat somasi menerangkan bahwa setelah mencermati berita acara pembebasan lahan yang diduga dibuat sepihak tertanggal 20 November 2023, yang ditandatangani oleh saudara Andry mengatasnama PT. TBA sebagai Pihak I dan saudara Yohanis Molambaku sebagai Pihak II, ternyata isi dan pelaksanaan isi surat salah secara hukum.
“Yang baru diberikan saudara Yohanes Molambaku pada tanggal 01 Juli 2024 dalam rapat warga masyarakat adat 4 suku di Yagadi Desa Taramana, telah merugikan warga masyarakat adat sub suku Talang, Tambalo, Talon dan Tampada, baik secara komunal adat maupun secara pribadi warga masyarakat,” terang Maure.
Maure menandaskan persoalan inipun sudah ia minta pihak perusahaan untuk dibicarakan agar mencari solusi secara baik, tetapi tidak digubris perusahaan. Sehingga ia dan masyarakat adat terpaksa memasang plang larangan sampai adanya penyelesaian tingkat kecamatan.
Menurut Maure, surat berita acara yang dibuat PT. TBA dan Yohanis Molambaku salah secara formal, dimana dilihat dari sisi formil ternyata surat tersebut tidak jelas atau kabur sehingga salah formil secara hukum administrasi.
“Tidak jelasnya kepemilikan lahan, karena kontradiksi jumlah pemilik lahan. Dimana pada alinea kedua dalam kalimat yang menyatakan maka akan menjadi tanggung jawab penuh pihak pemilik lahan, yakni Bapak Yohanes Molambaku. Artinya pemilik lahan hanya satu orang yakni Yohanis Molambaku,” ujar Maure.
Lanjut Maure, hal ini bertentangan dengan kalimat pada kolum tanda tangan yang menyatakan pemilik lahan (Pihak II) 1. Yohanis Molambaku, 2. Abrosius Leba, 3. M. Malelab, artinya pemilik lahan ada tiga orang, yakni Yohanis Molambaku, Ambrosius Leba, dan M. Malelab.
Pertanyaannya, lanjut Maure, sesungguhnya pemilik lahan yang dibebaskan itu berapa orang dan siapa yang sesungguhnya sebagai pemilik lahan? Selain itu, juga tidak jelasnya ukuran lebar lahan yang dibebaskan, karena didalam surat tersebut hanya disebutkan panjang 600 meter, sedangkan ukuran lebar tidak disebutkan.
Yang berikut, lanjut mantan Anggota DPRD Alor ini bahwa kedudukan kepala desa Taramana tidak jelas disebutkan. Dalam kolum tanda tangan menggunakan nomenklatur Perwakilan Pemerintah Desa Taramana, tetapi nama yang ditulis dengan tulisan tangan dan ditanda tangan adalah Elisa Y. Awengkary dan diberi stempel pemerintah Kab. Alor, Kec. ATL, Kepala Desa Taramana.
“Apakah sdra. Elisa Y. Awengkary adalah Kepala Desa Taramana atau sebagai Perwakilan Desa Taramana? Sesungguhnya Kepala Desa Taramana punya kewenangan untuk merubah format surat yang dibuat oleh sdra. Andry yang menggunakan nomenklatur Perwakilan Pemerintah yang salah makna menurut hukum administrasi,” kata Maure menegaskan.
Ia sangat menyayangkan harkat martabat pemerintah desa tidak dijaga. Sehingga kepala desa Taramana diduga mengekor niat saudara Andry/Kontraktor yang berkepentingan dengan pembebasan lahan tersebut. Sehingga, hanya tulis nama, tanda tangan dengan menggunakan nomenklatur Perwakilan Desa Taramana dengan hanya menggunakan tulis tangan, bukan diketik menggunakan nomenklatur Mengetahui Kepala Desa Taramana.
Maure juga sesalkan aparat Polsek Alor Timur Laut karena tidak hadir memberikan pengamanan proses pemasangan tanda larangan yang dilakukan masyarakat adat di lokasi tambang.
“Nah aparat Polsek Alor Timur Laut juga tidak hadir, padahal saya undang resmi. Hal ini sebagai kuasa hukum saya sesali karena ini kegiatan masyarakat yang mestinya polisi hadir untuk memberikan jaminan keamanan. Tadi itu kalau terjadi apa-apa siapa yang disalahkan?,” kesal Maure.
Aktivis Ztinky Laure Pasang Badan
Marthen Maure mengungkapkan, pada saat dilakukan prosesi tanam plang atau tanda larangan secara adat, tiba-tiba datanglah seorang pemuda bernama Ztinky Laure dan diduga melakukan perlawanan terhadap masyarakat adat. Aktivis mahasiswa yang getol melakukan demontrasi terkait berbagai ketimpangan ini seakan-akan pasang badan membela PT. TBA, perusahaan yang disebut-sebut menggunakan BBM subsidi untuk mengerjakan proyek miliaran di Alor tersebut.
“Jadi sementara masyarakat adat tanam plang tanda larangan, Ztinky Laure ini datang. Saya tanya dia kamu datang kapasitas sebagai apa? Kuasa direktur atau apa? Dia bilang mewakili perusahaan, terus saya minta mana legalitas anda. Surat kuasa atau apa, supaya ketika kita berdialog ada keputusan yang mengikat dan berkekuatan hukum untuk dipertanggungjawabkan. Saya minta legalitas tidak ada jadi dia kembali,” terang Maure.
Menurutnya, kemungkinan aktivis Ztinky Laure yang biasanya menyuarakan persoalan semacam ini melalui aksi demo kini menjadi karyawan PT. TBA. Hal ini dikuatkan dengan sejumlah berkas dokumen yang ditandatangani Ztinky mewakili PT. TBA.
Sejumlah berkas yang ditandatangani Ztinky Laure mewakili PT. Tunas Baru Abadi
Namun Ztinky Laure yang dikonfirmasi Wartawan melalui panggilan WhatsApp, Jumat, (26/7/24) siang membantah. Ztinky bilang keberadaannya di lokasi tambang sebagai masyarakat biasa. Ia mengaku tidak menjadi karyawan atau dalam ikatan apapun dengan PT. TBA dan meminta Wartawan untuk konfirmasi saja ke Yohanis Molambaku.
“Itu siapa yang bilang saya dari perwakilan perusahaan e? Tidak kaka, saya hadir di situ sebagai masyarakat kaka. Saya hanya pigi cegah supaya masyarakat tidak boleh halangi pembangunan yang ada di kampung to kaka. Kalaupun ada persoalan ya diselesaikan secara baik, tidak boleh palang begitu,” jawab Ztinky melalui panggilan WhatsApp.
Sementara itu Andry Didi selaku pihak PT. TBA yang dikonfirmasi via pesan WhatsApp juga enggan berkomentar banyak terkait perihal pemasangan tanda larangan oleh masyarakat adat di lokasi tambang. Andry mengaku sedang menjalani tahap pemulihan sehingga tidak mengurusi persoalan tersebut.
“Selamat malam bang joka Salam kenal sblmnya Sy baru selesai operasi om, smntara tahap pemulihan jadi blm bisa jalan lama Sy tdk ngurusin persoalanya Setau sy pembukaan jalan baru itu Terimaksih bang joka,” balas Andry melalui pesan WhatsApp.
Namun ketika ditanya lagi siapa pihak yang harusnya dikonfirmasi Wartawan terkait persoalan ini, Andry belum balas hingga berita ini tayang. ***(joka)