Kalabahi, wartaalor.com – Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (MS GMIT) mengecam perbuatan Sepriyanto Agus Snae, S.Th (SAS), pelaku dugaan pemerkosaan dan pelecehan anak dibawah umur di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sekaligus MS GMIT meminta polisi pelaku diberikan hukuman seberat-beratnya sesuai dengan perbuatannya.
Penegasan ini disampaikan Ketua Badan Peradilan dan Keadilan (BPK) Sinode GMIT, Pdt. Hendriana Taka Logo, M.Th saat gelar Jumpa Pers dengan sejumlah Wartawan di Rumah Makan Resto Mama Kadelang, Kecamatan Teluk Mutiara, Jumat, (9/9/22) siang.
Hendriana menerangkan, terkait kasus dugaan pemerkosaan 6 anak dimaksud, MS GMIT dalam keterangan tertulis waktu lalu sudah jelas bahwa akan sungguh-sungguh mengawal kasus ini hingga tuntas. Menurutnya, dalam kasus ini, pelaku adalah oknum Vikaris (kini mantan) dan korban adalah anak-anak yang merupakan generasi gereja dan juga generasi masa depan bangsa.
“Jadi gereja tidak pernah tinggal diam. Dan harus diakui bahwa sejak awal gereja sudah memulai. Sebab kalau gereja tidak memulai belum tentu kasus ini terkuak. Namun ini semua tidak terlepas juga dari kerja keras Majelis Klasis Alor Timur Laut (ATL) dan Alor Barat Laut (ABAL),” tandas Hendriana.
Dia mengatakan, MS GMIT sangat berharap kepada semua pihak untuk terus mendukung proses ini, agar ada kepastian hukum bagi korban dan keluarga.
“Kalau dari kami (MS GMIT), bentuk dukungan kami lebih jelas, seperti ada di keterangan tertulis,” tandasnya.
Hendriana menegaskan, gereja sangat mengecam perbuatan oknum yang bersangkutan. Sebab sesungguhnya gereja tidak pernah mengutus orang untuk datang dan merusak pelayanan.
“Gereja tidak pernah berpikir seperti itu. Jadi kalau sampai terjadi demikian berarti itu perbuatan oknum,” tegas Hendriana.
Dirinya berharap kepada media dalam penulisan pemberitaan agar menghargai hak-hak anak. Dia meminta media terus mengawal kasus ini melalui pemberitaan yang berpihak kepada korban dan juga mengedukasi.
“Supaya anak-anak akan belajar dari pengalaman ini. Sehingga ke depan jangan ada lagi korban. Pertemuan dengan Kapolres juga kami meminta pelaku dihukum seberat-beratnya sesuai dengan perbuatan dan kami tidak akan berpihak pada pelaku,” ungkap Hendriana.
Ketua Majelis Klasis (KMK) ABAL, Pdt. Simon Petrus Amung, S.Th dalam kesempatan yang sama mengatakan, kasus dugaan pemerkosaan dan pelecehan seksual anak ini mulai terkuak pada bulan Mei 2022 lalu. Ketika itu, ada laporan langsung ke Ketua MS GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon tanpa melalui KMK atau pendeta dari gereja setempat.
Lalu Ketua Sinode Mery Kolimon meminta KMK ATL Pdt. Yosua Penpada untuk mencari tahu kebenaran informasi itu. Menurut Pdt. Simon Petrus Amung, saat itu sambil mencari tahu kebenaran informasi tersebut, pelaku SAS dilakukan penahanan sementara segala urusan vikariat sesuai tata cara MS GMIT.
“Jadi kami mulai cari tahu informasi ini. Saya dengan Bapak KMK ATL mulai cek ke keluarga korban apakah informasi ini benar atau tidak. Atau jangan sampai ini hanya faktor iri hati dan lain sebagainya,” jelas Amung.
Dijelaskan bahwa waktu awal mulai mencari tahu, bahkan dirinya bersama KMK ATL diancam keluarga korban akan dilaporkan ke polisi karena pencemaran nama baik.
“Namun karena kami terus mencari tahu informasi ini, hingga kami menemukan benar adanya kejadian tersebut,” jelas Amung.
Pdt. Amung menjelaskan, waktu itu korban dan keluarga malu menceritakan apa yang dialami. Mereka adalah anak dibawah umur. Namun atas bantuan pendampingan tim psikolog dan Rumah Harapan MS GMIT sehingga tanggal 1 September keluarga resmi melaporkan ke polisi.
Ketua Rumah Harapan MS GMIT, Ferderika Tadu Hungu, S.Th, MA mengatakan pihaknya telah mendampingi orang tua korban melaporkan kasus tersebut ke Kepolisian Resor (Polres) Alor.
Usai melaporkan, lanjut Ferderika, pihaknya akan terus melakukan pemulihan psikologi serta pendampingan hukum.
Ferderika katakan, saat ini pihaknya juga membangun koordinasi dengan pihak sekolah, tempat para korban belajar untuk membantu memantau perkembangan anak di sekolah. Menurutnya, apabila keadaan para korban di sekolah tidak aman karena malu, dibuli oleh teman-teman dan lain sebagainya, maka para korban terpaksa harus dipindahkan ke sekolah lain.
“Ya… walaupun mereka terhalang dengan dapodik sekolah, tetapi kami tidak mau masa depan anak-anak ini dikorbankan. Anak-anak harus diselamatkan,” tandas Ferderika.
Sementara itu, informasi yang dihimpun Wartawan menyebut jumlah korban pemerkosaan dan pelecehan oleh oknum calon pendeta bertambah menjadi 11 orang. Dari jumlah itu, 6 diantara sudah melaporkan ke Polres Alor sedangkan yang lain sedang dilakukan pendampingan pemulihan psikologi.
Dikutip dari media CNN sebelumnya, Kapolres Alor AKBP Ari Satmoko, SIK, SH, MM menghimbau agar korban lain dugaan kekerasan seksual oleh calon pendeta ini untuk melapor ke pihak kepolisian.
“Jika pihak-pihak (para korban) enggan melapor langsung kesini (ke Polres) maka kita (penyidik) yang akan kesana (menemui korban),” kata AKBP Ari Satmoko. ***(joka)
***Berhubung para korban adalah sebagian besar anak dibawah umur, sehingga dalam pemberitaan tidak dicantumkan identitas korban dan lainnya.