KALABAHI, WARTAALOR.com – Pelaksanaan Festival Cerita Rakyat Alor (FCRA) yang yang digelar oleh Direktorat Jenderal (Dirjen) Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama panitia sejak bulan Oktober lalu telah selesai. Puncak acara tersebut ditandai dengan pentas panggung oleh 26 peserta yang lolos. Kegiatan berlangsung di Aula Watamelang, Kelurahan Mutiara Kecamatan Teluk Mutiara Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu (27/11/2021).
Ketua Panitia FCRA, Yohanis Atamai, S. Pd menyatakan, cerita rakyat yang sebelumnya telah ditulis dengan menggunakan dwi-bahasa; bahasa Indonesia dan daerah oleh masing-masing peserta itu kemudian dilakukan pentas panggung, baik luring maupun daring. Menurutnya, hal tersebut dilakukan guna menepis ancaman kepunahan bahasa dan sejarah di Kabupaten Alor, yang hari-hari ini kian nyata.
Ia menambahkan, upaya mempertahankan budaya, bahasa dan sejarah di Kabupaten Alor dilakukan dengan menggelar FCRA. Kendati demikian, Pegiat Sosial Alor itu menyayangkan rendahnya animo masyarakat terhadap eksistensi budaya, bahasa dan sejarah di Alor. Padahal, Alor memiliki beragam budaya, bahasa dan sejarah.
Anis turut menyayangkan, saat pembukaan jadwal pendaftaran, terdapat ratusan peserta yang mendaftarkan diri, namun hingga pada tahap pendampingan penulisan cerita rakyat, jumlah peserta kemudian semakin berkurang.
“Rendahnya kesadaran berbagai pihak, baik eksekutif, legislatif maupun masyarakat terhadap budaya, bahasa dan literasi telah ikut mengakibatkan rendahnya peserta dalam FCRA di kabupaten yang dijuluki seribu moko itu,” kata Anis.
Dia menyebut, sejak awal pendaftaran yang dibuka panitia Bulan Oktober lalu, terdapat 105 peserta yang ikut mendaftarkan diri. Namun, jumlah peserta tersebut semakin berkurang ketika memasuki tahap seminar penulisan cerita dan pendampingan penulisan cerita rakyat.
Pihaknya mensinyalir, penulisan cerita rakyat dengan menggunakan dwibahasa membuat banyak peserta kemudian mengundurkan diri. “Dengan alasan mereka tidak tahu bahasa daerah atau sulit untuk menerjemahkan cerita dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah masing-masing, sehingga setelah workshop penulisan tanggal 25 Oktober jumlah peserta kemudian berkurang menjadi 75 orang,” tutur Anis.
“Bahkan pada tahap pendampingan penulisan selama satu minggu tanggal 27 Oktober-7 November, jumlah peserta berkurang menjadi 50 orang, setelah itu, yang memasukan tulisan batas tanggal 15 November, hanya 27 peserta yang mengirim hasil tulisan dalam bahasa daerah dan Indonesia,” sambungnya.
Hal tersebut sebagai indikasi rendahnya minat dan antusiasme terhadap kebudayaan, bahasa dan sejarah sendiri. “Ini menjadi perhatian baik kita maupun DPR, kemudian pegiat budaya dan pegiat bahasa. Sebab, hal ini sebagai catatan buruk untuk kita semua, karena saya mengutip pernyataan Prof. Simon Sabon Ola, M.Hum bahwa bahasa Indonesia tidak akan hilang, tetapi bahasa daerah akan hilang. Hal tersebut terbukti dari berkurangnya kepesertaan saat ini,” terang Anis.
Karena itu, Anis berharap, kondisi ini harus mejadi perhatian pemerintah, legislatif dan seluruh pemangku kepentingan, agar generasi muda Alor tidak terjerumus dalam arus perkembangan zaman yang kian mendegradasi budaya, bahasa dan sejarah di Alor.
Pada kesempatan itu, ia juga menyampaikan terima kasih kepada Dirjen Kebudayaan, Kemenristek Dikti, para dewan kurator, media massa, Dinas Kebudayaan Kabupaten Alor, Tim Satgas Covid-19 Alor, Dandim Alor dan Kapolres Alor dan seluruh peserta lomba FCRA.
Selain itu, ia juga meyampaikan terima kasih kepada Camat Alor Tengah Utara WADAH TITIAN HARAPAN, dan seluruh tim panitia FCRA yang telah menyukseskan acara dimaksud dan acara ini juga di dukung oleh 2 penulis Yakni Dr.Fredrik A.Kande MPD.dan jefta Atapeni S.pd yang langsung di serakan kepada peserta dan guru pendampinģ serta masyarakat yang hadir di acara pentas dan pengumuman juara.
Kadis Kebudayaan Alor, Mesak T. Blegur, SP ketika membuka puncak acara FCRA, mengaku bangga atas terselenggaranya FLCRA. Pasalnya, dari sebanyak 7.000 proposal yang masuk ke Kemendikbudristek, 2 dari 4 proposal dari kabupaten Alor yang disetujui oleh Kemendikbudristek, salah satunya adalah FCRA. Karena itu, ia juga mendorong agar tahun depan, banyak peserta baik milenial, orang muda, pegiat budaya, bahasa dan sanggar dapat membuat proposal ke Kemendikbudristek untuk menggelar kegiatan, sehingga banyak hasil-hasil kebudayaan Alor yang bisa diangkat dan dipublikasikan melalui kegiatan riil.
Pada kesempatan itu, pihaknyajuga menyampaikan terima kasih kepada para dewan kurator yang telah mendukung suksesnya kegiatan tersebut. Salah satu Dewan Kurator FCRA, Dr. Fredik A. Kande, M. Pd ketika menyampaikan penilaian dewan kurator, menyebut umumnya semua peserta sudah tampil dan menulis dengan baik. Namun, sesuai penilaian tim kurator berdasarkan sejumlah kriteria, maka dewan kurator kemudian memutuskan para juara pada masing-masing kategori.
Sejumlah kriteria pada aspek penulisan seperti pada identitas cerita, karakter tokoh, plot, setting, tema, konflik hingga pengunaan ejaan yang disempurnakan dan penggunaan tanda baca, ikut disoroti. Sementara pada krieria kemampuan bercerita, Dosen Universitas Tribuana Alor itu menitikberatkan pada pelafalan, intonasi, hingga penguasaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Ia menyebut, dalam penyampaian cerita rakyat, bahasa daerah sedikit diabaikan dari bahasa Indonesia. Sebab, masih ada sejumlah peserta yang kerap melihat teks di atas panggung. Menurutnya, bahasa daerah tidak cukup dibaca di kamus atau melalui tulisan lain, tetapi harus dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Kendati demikian, ia menyebut, umumnya peserta telah menyiapkan diri dengan baik untuk pentas panggung pada puncak acara FCRA. Ia juga menyebut, dari aspek penulisan, banyak yang masih kurang, namun sebaliknya dari segi penampilan, sejumlah peserta cukup mempersiapkan diri dengan baik.
Sementara Sekretaris Panitia FCRA, Feroni Mumu Lakamau S.Pd.menjelaskan, dari 26 peserta yang mengikuti pentas panggung, 2 orang mengikuti secara daring melalui zoom meeting, karena berada di luar Kabupaten Alor. Ia menyebut, dalam pentas panggung tersebut, 26 peserta diberi waktu 16 menit untuk menceritakan cerita raykat dalam bahasa Indonesia dan daerah.
Ia menyatakan, berdasarkan penilaian dewan kurator, semua peserta pentas pangung dianggap sebagai penulis dan penutur yang baik. Namun, berdasarkan penilaian, 14 orang keluar sebagai juara pada masing-masing kategori, baik pelajar maupun umum.
Ini Peserta Juara Lomba Festival Cerita Rakyat Alor
Juara FCRA masing-masing kategori dari hasil penilaian dewan kurator adalah sebagai berikut:
Juara Kategori Umum dan Judul
- Sayuduris Karlau (Asal Mula Danau Kuifano)
- Refael Molina (Kisah Data Korang)
- Gatmeomi Kamuikar (Sejarah Terbentuknya Pulau Tereweng)
- Menase Fasama (Kisah Timbulnya Mata Air Maselwei)
- Seprianus M. Padalani (………)
- Muh Nurkafila Jetimau (Dua Bersaudara dan Siput Ajaib)
Juara Kategori Pelajar dan Judul
- Serwinda M. Oulaana (Yahalobong Memanah Halo’o)
- Yunita Lahal (Asal Muasal Gong dan Moko Boin)
- Marince F. M. Makanlehi (Batu Ayam Berkokok)
- Putri R. Molina (Puifa dan Silafah)
- Tula Rosalina Jemau (Asal Mula Mata Air Lonja)
- Yosep Laulei (Saisaka)
- Siti F. K. Aleng (Sejarah Berdirinya Mata Jemaat Gereja Ismail)
- Elda Orina Kolihar (Asal Usul Pulau Tereweng)
Adapun dewan kurator pada FCRA ini adalah Prof. Simon Sabon Ola, M. Hum (Pakar Bahasa Undana), Dr. Fredrik Abia Kande, M. Pd (Dosen Universitas Tribuana Alor), Dr. Lanny Koro, M. Hum (Ahli Bahasa/Dosen IAKN Kupang), Jefta Atapeni, S. Pd (Pegiat Budaya/Penulis Fiksi), Mesak T. Blegur, SP (Kadis Kebudayaan Kabupaten Alor), Ferdinan Fraring, S. Pd (Pegiat Budaya/Penulis Fiksi), Adolfina M. S. Moybeka, M.Pd (Dosen Untrib/Pegiat Budaya) dan Gabriel A. K. Beribina (Tokoh Masyarakat/Anggota DPRD NTT).
Untuk diketahui, 26 peserta mendapat sertifikat pada FCRA, sementara 16 peserta yang keluar sebagai juara diberi uang pembinaan dan sertifikat. Menariknya, 26 cerita rakyat dari peserta lomba FCRA akan didokumentasikan menjadi buku cerita rakyat Alor oleh Kemendikbudristek. *** (panitia)