KALABAHI, WARTAALOR.COM | Sejarah mencatat, bahwa pada tanggal 8 Maret 1857, telah terjadi aksi demonstrasi kaum perempuan kelas buruh dari berbagai pabrik di New York Amerika Serikat. Mereka menuntut agar adanya penghapusan diskriminasi dalam hubungan produksi dan membawa tuntutan kelas buruh untuk pengurangan jam kerja serta perbaikan kondisi kerja.
Demikian Pernyataan Sikap Aktivis Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Alor saat dibacakan pada aksi (mimbar bebas) di Lapangan Kalabahi Kecamatan Teluk Mutiara Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin, (8/3/21) pagi. Aksi dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional tahun 2021 diikuti peserta aktivis FMN 5 orang. Dalam aksi ini, FMN mengajak kaum perempuan bersama rakyat melawan diskriminasi, tindasan fasis imperialisme dan resim bonekanya.
Lanjut FMN, pada tahun 1908, diselenggarakan peringatan peristiwa 8 Maret 1857 tersebut dalam sebuah rapat umum, yang diikuti oleh 30.000 perempuan kelas buruh dan para pendukungnya. Pada tahun 1910 dalam Kongres Internasional Perempuan Kelas Buruh, memutuskan bahwa tanggal 8 Maret diperingati sebagai hari perlawanan kaum perempuan kelas buruh dan upaya untuk membangkitkan gerakan pembebasan perempuan didalam garis perjuangan.
Setelah 111 tahun berselang, lanjut FMN dibawah koordinir Melki Botlaka, situasi perempuan di Indonesia dan diberbagai negeri, terutama di negeri jajahan dan negeri setengah jajahan setengah feodal masih sama. Akar ketertindasan perempuan disebabkan karena adanya masyarakat berkelas juga adanya kepemilikan pribadi dan akumulasi produksi menyebabkan perempuan dalam belenggu dominasi budaya feodal patriarchal.
Di aspek ekonomi perempuan buruh pabrik dan buruh kebun masih terindikasi mengalami diskriminasi upah dan kondisi kerja yang buruk. Monopoli tanah oleh korporasi asing dan negara sebagai tuan tanah di negeri setengah jajahan dan setengah feodal ini menjadi contoh nyata bahwa masyarakat bahwa masyarakat berklas dan kepemilikan pribadi masih eksis dan menindas utamanya ialah kaum perempuan.
Di masa pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), lanjut FMN, sesungguhnya tidak berpihak pada kaum perempuan. Berbagai kebijakan dan aturan yang dikeluarkan menjadikan kaum perempuan terlempar ke dalam kemiskinan, keterbelakangan dan tindasan yang terus berlipat. Paket kebijakan Jokowi kurang menolong perempuan buruh dari sistem kerja kontrak pendek, upah murah dan terkesan dipaksa bekerja lembur bahkan tempat kerja yang buruk.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Alor tahun 2019, lanjutnya, menunjukkan upah buruh perempuan lebih rendah yakni berkisar 13,33% dari upah buruh laki-laki. Bahkan selisih nominalnya mencapai angka Rp 618.800 rupiah. Data UNICEF, lanjutnya, juga menemukan 938 anak di Indonesia putus sekolah akibat pandemi Covid-19. Dari jumlah tersebut, sebagian tidak melanjutkan sekolah karena terkendala biaya.
Lagi-lagi, sepanjang bulan Oktober 2019 hingga awal April 2020, data 7,3 mahasiswa perempuan, hampir 50% putus kuliah di Perguruan Tinggi. Selain itu, sepanjang tahun 2019 tercatat 406.178 telah mengalami kasus kekerasan. Atas dasar itu, Aktivis FMN menyatakan tuntutan sebagai berikut:
1. Cabut paket kebijakan Jokowi yang terindikasi semakin memiskinkan dan merosotnya penghidupan kaum perempuan dan rakyat Indonesia.
2. Menolak reforma agraria palsu yang pada hakikatnya adalah mempercepat perampasan tanah rakyat.
3. Perbaiki upah perempuan buruh dan buruh tani di perkebunan.
4. Mengecam keras sikap terhadap praktik perdagangan perempuan.
5. Turunkan harga kebutuhan pokok dan pajak bagi rakyat serta menolak seluruh kenaikan harga pelayanan publik.
6. Berikan kebebasan berorganisasi dan berserikat bagi perempuan terutama perempuan buruh dan tani di pedesaan. *(Joka)