DPRD NTT, UNTRIB Kalabahi Gelar Diskusi Publik Tentang Politik Identitas Menuju Pemilu 2024

Anggota DPRD Provinsi NTT, Alexander Take Ofong, S.Fil memaparkan materi tentang Politik Identitas dan Kesiapan Kita Menuju Pemilu Tahun 2024 dalam kegiatan Diskusi Publik yang digelar di Kampus UNTRIB Kalabahi, 16 Juli 2022

KALABAHI, WARTAALOR.com – Anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Alexander Take Ofong, S.Fil menggelar Diskusi Publik bertajuk Politik Identitas dan Kesiapan Kita Menuju Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024. Kegiatan ini dilakukan atas kerjasama Universitas Tribuana (UNTRIB) Kalabahi ketika reses di Kabupaten Alor, 16 Juli 2022.

Pada kesempatan itu, Alexander Take Ofong mengupas tentang identitas kita yang menurutnya penting baik atas nama pribadi maupun kelompok sebagai jati diri kita. Menurut Ofong, kita harus menunjukkan identitas kita agar kita dapat dihargai oleh kelompok identitas lain.

Bacaan Lainnya

“Identitas itu penting. Kita harus menunjukkan identitas kita. Seseorang baik atas nama diri sendiri maupun kelompok penting dia menunjukkan identitasnya agar dapat dihargai. Sebab kalau kita tidak tunjukkan identitas kita, orang tidak hargai kita,” ujar Anggota DPRD NTT Fraksi Partai NasDem ini.

Ia memberikan contoh seperti kampus (UNTRIB) Kalabahi ini, sebagai lembaga pendidikan tinggi di Kabupaten Alor, kita harus menunjukkan identitas lembaga kita sebagai kampus di Kabupaten Alor. Apalagi identitas kita bangsa dan negara.

Mantan Sekretaris DPW Partai NasDem NTT ini memaparkan bahwa identitas kita adalah penting sebagai jati diri kita dan cara menggunakan identitas harus benar-benar untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Itulah yang paling penting dan bukan untuk memecah belah persatuan kita.

Anggota Dewan Daerah Pemilihan (Dapil) 6 ini menyebutkan dalam politik identitas dikenal tiga kategori, yaitu kategori baik, tidak baik dan kategori busuk.

Dia menguraikan bahwa politik identitas kategori busuk, itu seperti kita menggunakan identitas kita dalam berpolitik, kemudian secara sadar kita juga upaya untuk meniadakan identitas yang lain.

Kita upaya meniadakan identitas yang lain sehingga terlihat hanya ada satu identitas saja di negara ini. Menurut Ofong, itu tidak bisa dan itu yang disebut politik identitas kategori busuk. Karena itu biasanya banyak upaya dilakukan untuk mendiskreditkan identitas yang lain.

“Politik identitas kategori busuk, ada upaya menghilangkan identitas yang lain sehingga terlihat hanya ada satu identitas saja di sebuah negara. Nah dalam menghadapi pesta pemilu 2024 nanti, kita sepakat kita tidak berada pada politik identitas kategori busuk itu,” paparnya.

Dia melanjutkan, untuk politik identitas kategori tidak baik juga dalam perilakunya hampir sama. Dimana kita menampilkan identitas kita, kita juga mengakui identitas orang lain tetapi tidak ada ruang untuk keterlibatan bersama.

“Jadi itu contohnya seperti kamu-kamu dan kami-kami. Hal ini kemudian sering terjadi polarisasi sebab masing-masing ingin berdiri sendiri dan tidak mau ada keterlibatan bersama dua identitas yang berbeda itu,” jelas Ofong sembari mengakuinya bahwa polarisasi ini kadang muncul mulai dari pesta politik yang kecil seperti pemilihan kepala desa.

Sedangkan untuk kategori baik, lanjut Ofong, yaitu kita menggunakan identitas kita dan juga mengakui identitas orang lain dan saling menerima untuk membangun kerjasama yang baik untuk kemakmuran rakyat.

“Jadi itulah sebenarnya Bhineka Tunggal Ika berbeda-beda tetapi kita adalah satu. Kita mau mengakui identitas yang lain dan kita mau membangun sebuah kerjasama yang baik, dan tidak boleh ada lagi polarisasi, seperti kamu-kamu dan kami-kami,” pungkasnya.

“Jadi bagi saya politik identitas adalah upaya menggunakan identitas untuk merebut kekuasaan dan mengelola kekuasaan itu demi kesejahteraan masyarakat bersama. Karena itu jika kita mengelola kekuasaan kita untuk kesejahteraan masyarakat maka kita juga harus menggunakan identitas kita dengan baik pula,” tambah Ofong.

Mahasiswa UNTRIB Kalabahi antusias mendengar materi dari kedua narasumber

Sementara itu, narasumber dari akademisi yakni Dr. Fredik Abia Kande lebih menguraikan tentang politik identitas gaya Amerika Serikat (USA).

Kande mengatakan, politik identitas adalah politik dimana adanya kelompok berdasarkan identitas ras, agama, etnis, sosial atau budaya tertentu yang cenderung memperjuangkan kepentingan mereka sendiri, tanpa memperhatikan kepentingan kelompok politik yang lebih besar.

Menurut Kande, gerakan feminis, gerakan hak-hak sipil, dan gerakan pembebasan gay adalah contoh dari jenis pengorganisasian politik ini. Kata Kande, Vox menambahkan bahwa fokusnya biasanya jatuh pada wanita, ras, minoritas, imigran, orang LGBTQ dan agama minoritas.

“Istilah politik identitas adalah konsep dan aktivitas politik yang didasarkan pada pengalaman bersama ketidakadilan dari kelompok sosial (konstituen) tertentu. Hal ini bertujuan untuk mengamankan kebebasan politik dari konstituen tertentu yang terpinggirkan dalam konteks yang lebih besar. Sehingga dapat disimpulkan politik identitas adalah pemikiran/gagasan, kebijakan, tindakan, dan perilaku yang hanya memperjuangkan atau mempromosikan kepentingan kelompok identitas tertentu daripada kepentingan kelompok yang lebih besar,” jelas Fredik Abia Kande.

Mantan Rektor UNTRIB Kalabahi ini melanjutkan, Political Correctness (kebenaran politik) bahasa, kebijakan atau tindakan yang dimaksudkan untuk menghindari pelanggaran atau kerugian bagi anggota kelompok tertentu dalam masyarakat, bisa dalam bentuk penghinaan, pengucilan dan peminggiran kelompok kurang beruntung atau terdiskriminasi berdasarkan etnis, jenis kelamin atau orientasi seksual.

Faktor penyebab politik identitas, lanjut Kande, jika belajar dari demokrasi USA pada tahun 2017 German Lopez mengatakan, politik identitas adalah ungkapan yang samar-samar tetapi umumnya mengacu kepada diskusi dan politisasi seputar isu-isu yang berkaitan dengan identitas seseorang (perempuan, ras, minoritas, imigran, orang-orang LGBTQ dan agama minoritas: Muslim Amerika)

Semua masalah sosial dalam tahun-tahun terakhir, lanjutnya, seperti pernikahan sesama jenis, penembakan polisi terhadap pria kulit hitam yang tidak bersenjata, transgender di kamar mandi, ketidaksetaraan gender dan lain-lain adalah jenis masalah yang dimaksudkan orang ketika mereka membicarakan tentang politik identitas.

Ada sisi lain dari politik identitas yang jarang didengar di AS, terutama identitas kulit putih. Menurut Kande, ini adalah definisi identitas, tetapi ini adalah salah satu yang dianggap sebagai kebiasaan di Amerika. Sehingga masalah yang berkaitan dengan identitas kulit putih biasanya tidak dianggap sebagai politik identitas.

“Politik identitas sebagai pengalih perhatian. Tahun 2017 Stephen Bannon mengatakan politik identitas telah berfungsi sebagai pengalih perhatian dari isu-isu yang dianggap lebih penting dan cocok secara politis: kesenjangan ekonomi, pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dan penyalahgunaan dan korupsi dalam sistem keuangan Amerika,” papar Kande.

Sebelumnya, mengawali kegiatan Diskusi Publik, Rektor UNTRIB Kalabahi Alvons Gorang, S.Sos, MM dalam sambutannya mengatakan kampus yang dipimpinnya terbuka bagi siapa saja yang datang beri dukungan baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk kegiatan seperti ini.

Menurut Alvons, sebenarnya UNTRIB Kalabahi alergi terhadap politik. Namun Ia menyadari bahwa ketika dalam perjalanan, kampus ini dibangun tidak terlepas dari hasil komunikasi sejumlah partai politik. Karena itu pihaknya terbuka untuk siapa saja datang ke kampus untuk memberikan kontribusi dalam berbagai bentuk.

“Terkadang memang anti politik tetapi kita ingin menjadi penikmat politik. Kadang kami alergi terhadap diskusi semacam ini tetapi kami juga menyadari bahwa dalam perjalanan selama beberapa kurun waktu, tidak bisa kami menyangkali kalau sejumlah sarana prasarana kampus yang dibangun tidak terlepas dukungan dari partai politik, begitu juga bantuan beasiswa kepada mahasiswa,” ungkap Alvons.

“Jadi rusunawa di belakang itu orang PDI-P yang bantu. Lalu BLK dari Golkar, dan untuk partai Nasdem, di ruang ini pernah saya dijanjikan 10 beasiswa dan 1000 judul buku tetapi belum terealisasi. Tetapi saya yakin dan percaya bahwa kalau bukan bantuan 10 beasiswa maka kami pasti akan mendapatkan bantuan 5 beasiswa,” ujar Alvons Gorang menepis kembali janji salah satu elit partai NasDem yang belum terealisasi.

Alvons katakan, kami juga perlu menyampaikan bahwa apapun dukungan partai politik yang kami dapatkan, kami juga tidak bisa menjamin bahwa sekian persen suara mahasiswa itu akan dukung ke partai politik tersebut. Tetapi masing-masing datang dengan bantuan maupun kontribusi pikiran-pikiran baik untuk kemajuan kampus, tentunya mahasiswa akan menilai dan melihat siapa orang atau partai yang terbaik untuk dipilih. ***(joka)

Pos terkait