KALABAHI, WARTAALOR.com – Salah satu Anggota Tim Mediasi, RD Marselinus Seludin, Pr menegaskan dirinya tidak setuju dengan buku Alor Damai cetakan tim mediasi pasca mendamaikan Bupati Alor Drs. Amon Djobo dan Ketua DPRD Enny Anggrek, SH. Pasalnya, buku setebal 46 halaman itu proses desain, editing hingga cetak, dirinya tidak dilibatkan sebagai salah satu anggota tim mediasi yang diketuai Drs. H. Jusran Moh Tahir.
Romo Marselinus menegaskan hal itu ketika dikonfirmasi Wartawan di Pastori Paroki Gembala Yang Baik, Lipa Kelurahan Kalabahi Tengah Kecamatan Teluk Mutiara, Alor – NTT, Jumat, (17/9/21) malam.
Dia juga mengaku sudah membakar buku Alor Damai yang diantar oleh oknum yang tidak diketahui identitasnya.
“Saya lupa tanggal berapa buku itu ada disini. Tetapi orang datang taruh saja di itu meja itu,” kata Marselinus sambil menunjuk ke arah meja yang oknum tersebut menaruh buku diatasnya.
Pastor Gereja Paroki Gembala Yang Baik ini menuturkan, saat pertama kali dirinya melihat buku itu, ia kemudian ambil dan simpan karena belum punya waktu untuk membacanya.
“Saya lihat ho ya … buku mediasi. Saya bawa simpan di dalam. Kemudian ada waktu kosong jadi saya baca. Saya heran koq kita sudah mediasi damai kemarin koq kenapa ada buku lagi segala macam,” ungkapnya.
Setelah membaca buku itu demikian Marselinus, dirinya tidak setuju. Sebab sebagai tim mediasi mestinya kita hadir sebagai penengah, tetapi seolah-olah menjadi hakim untuk orang. Apalagi dirinya tidak dilibatkan dalam proses cetak buku.
“Saya juga tidak mau menyimpan dokumentasi yang seperti itu sehingga saya bakar to. Karena tidak ada manfaat untuk saya karena siapa yang mengeluarkan buku, siapa yang bertanggung jawab, siapa yang tim editor… tidak ada,” tandasnya.
Selanjutnya demikian Marselinus, kalau seadainya ada ini buku harusnya ada pemberitahuan kepada kita tentang tulisan dalam buku itu untuk diberikan klarifikasi setelah diedit… ini tidak ada.
“Kita pung tujuan itukan mau damai … kalau orang sudah damai ya mau apa lagi to. Untuk apa ko kita meninggalkan kita pung catatan lagi, saya pikir itu akan menambah soal. Karena saya pikir begitu itu yang saya bakar. Setelah saya bakar, pada tanggal 18 Agustus 2021 kami diundang Pemda. Katanya sudah mediasi jadi mau minta terima kasih,” ujarnya.
Dalam pertemuan yang dihadiri tim mediasi bersama Asisten 1 Setda Alor Fredrik Lahal itu Marselinus mengaku mengatakan, sebagai tim mediasi, ia merasa malu dengan terbitnya buku Alor Damai karena itu ia sudah membakar buang buku dimaksud.
“Saya bakar itu buku karena saya tidak suka, kapan kamu minta saya ko edit itu buku. Buku yang keluar itu harus kita lihat dan edit bersama,” terangnya sembari menambahkan, karena itu ia membakar buku dimaksud dan tidak mau menyimpannya. Takut suatu ketika nanti dibaca oleh umat dan umat bertanya mengapa ia menyimpan buku seperti itu.
Merselinus malah menyarankan dalam pertemuan itu kepada tim mediasi untuk membakar buku yang telah diterbitkan, tetapi tidak ada yang memberikan respon.
“Kalau tidak salah pas mau pulang Pak Denny Lalitan yang bilang Romo itu buku tidak apa-apa. Tapi saya bilang untuk saya si… tapi untuk bapak pasti tidak,” ungkapnya.
Menurut dia, karena buku ini keluar atas nama tim sehingga mestinya tim ini duduk bersama untuk merumuskan penerbitan. Tetapi yang terjadi tidak seperti itu… itu yang buat saya malu, karena berita di dalam kan tidak seimbang. “Yang rapat dengan saya itu tidak tulis, termasuk ibu Enny,” katanya menambahkan.
Sebagai tim terang Marselinus, mestinya kita netral dan mengayomi. Tetapi karena saya tidak suka isi buku sehingga saya bakar. Dia mengaku tidak mengikuti rapat terbaru yakni tanggal 17 September 2021 dengan Ketua DPRD Alor karena ada dalam urusan melayani pemberkatan nikah umatnya.
Seperti berita media ini sebelumnya, belum hilang dalam ingatan sebagian publik Kabupaten Alor, NTT terkait peristiwa tanggal 9 Juli 2021 lalu. Dimana sejumlah tokoh Alor, baik tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan tokoh perempuan yang tergabung dalam tim 10 sebagai tim mediasi, mendamaikan Bupati Alor, Drs. Amon Djobo dan Ketua DPRD Enny Anggrek, SH. Proses damai berlangsung di Alun-alun Rumah Jabatan Bupati setelah beberapa bulan terjadi perseteruan hebat saling melapor antara kedua petinggi Alor itu.
Setelah urusan damai itu selesai, satu bulan kemudian atau sekitar awal Agustus 2021, tim mediasi yang diketuai Drs. H. Jusran Moh. Tahir diduga diam-diam menerbitkan buku dengan judul ‘Alor Damai’. Buku setebal 46 halaman itu isinya memuat tentang sekapur sirih, daftar hadir, foto dan notulen usul saran dari peserta rapat, mulai dari rapat pembentukan tim 10 yang dipimpin Sekretaris Daerah (Sekda) Alor, Drs. Soni O. Alelang tanggal 21 Juni 2021 hingga proses damai terjadi tanggal 9 Juli 2021.
Anehnya, buku itu dicetak dalam jumlah terbatas atau hanya 10 eksemplar saja sebagai dokumentasi internal tim dan tidak dibagikan kepada siapapun, termasuk Bupati Amon Djobo dan Ketua DPRD Enny Anggrek serta para asisten Setda Alor. Setelah cetak, Ketua Tim Mediasi Jusran Tahir sebelum membagikan kepada anggotanya, juga dengan tegas meminta agar buku tersebut tidak disebarluaskan.
Akan tetapi, informasi tentang keberadaan buku justru ‘bocor’ hingga ke telinga Ketua DPRD Enny Anggrek. Dia kemudian protes keras dan meminta tim mediasi segera klarifikasi setelah mengetahui ada beberapa poin tulisan dalam buku tersebut diduga berbau penghinaan terhadap dirinya. Enny Anggrek juga mengancam bila tidak lakukan klarifikasi maka ia siap melaporkan tim mediasi ke polisi. Berdasarkan permintaan itu, ketua tim mediasi dan anggota kemudian menemui Enny Anggrek di Kantor DPRD Alor, Jumat, (17/9/21) untuk memberikan klarifikasi.
Dalam pertemuan yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Alor Sulaiman Singh, SH, Enny Anggrek mempertanyakan keberadaan buku tersebut. Enny Anggrek marah besar karena buku tanpa identitas penerbit itu diduga didesain secara sepihak. Sebab isinya, menurut Enny Anggrek diduga hanya menjelekkan terhadap dirinya dan juga jabatan yang ia emban.
Seperti pernyataan tokoh pemuda Alor Denny Lalitan dalam buku yang merasa kuatir terhadap Enny Anggrek karena punya gangguan kejiwaan. Menurut Enny Anggrek, kalaulah isi buku tersebut memuat tentang notulen usul saran dan masukan, kenapa penyampaian dia tentang Bupati Alor Amon Djobo diduga pukul masyarakat, penghinaan terhadap oknum anggota TNI dan juga penghinaan staf Kemensos RI tidak termuat dalam buku.
“Siapa yang cetak ini buku ..? Tujuannya untuk apa..? Dan kenapa hanya 10 eksemplar saja..? Kalau mau muat notulen harusnya muat semua. Kenapa saya omong bupati diduga pukul masyarakat, penghinaan anggota TNI dan juga staf Kemensos RI dan lain-lain tidak termuat di dalam..? Ini suatu penghinaan terhadap saya secara pribadi dan jabatan ketua DPRD,” tanya Enny Anggrek dengan nada tegas.
Ketua DPC PDI-P Alor ini juga mempertanyakan logo dua tangan pada cover depan buku layak orang berjabat tangan sebagai simbol damai yang mana tangan satu warna hitam dan satunya warna putih. Enny Anggrek menduga logo berjabat tangan itu melambangkan rasis.
“Kenapa koq.. gambar berjabat tangan di halaman depan ini tangan satu warna hitam dan satunya warna putih..? Haa…ini maksudnya apa? Ini ada indikasi rasis atau apa..? Tolong dijelaskan..!,” tegas Enny Anggrek.
Menurut Enny Anggrek, dirinya mendapat buku tersebut pada tanggal 6 Agustus 2021, setelah ada oknum tidak diketahui identitasnya bawa dan taruh di depan Rumah Jabatan Ketua DPRD. Menurutnya, buku itu hasil copy warna yang diisi dalam amplop warna coklat dan tidak ada nama pengirim.
“Saya tidak tahu ini buku siapa yang bawa datang di rumah jabatan. Karena tidak ada nama pengirim. Kemungkinan orang itu bawa datang taruh di depan rumah terus langsung pulang,” ungkap Enny Anggrek.
Dia menandaskan, setelah melihat ada kiriman amplop warna coklat, ia kemudian buka dan ternyata isi didalamnya ada satu buah buku yang berjudul Hasil Kerja Tim Mediasi Kabupaten Alor Damai.
“Jadi setelah saya baca-baca ada daftar hadir rapat dengan foto-foto, ada sekapur sirih dari Ketua Tim Mediasi Jusran Tahir dan notulen rapat. Saya protes kenapa isinya sepihak..? Kenapa..Denny Lalitan bilang dia kuatir saya punya gangguan kejiwaan itu dimuat didalam..? Kalau saya gangguan kejiwaan saya tidak mungkin lulus kesehatan waktu calon anggota DPRD,” tanya Enny Anggrek dengan nada tegas.
Dia menandaskan, buku yang dicetak itu ada susunan notulen rapat yang diduga memfitnah dan menghina terhadap dirinya dan juga jabatan yang ia emban. Enny Anggrek menegaskan, notulen rapat dibuat oleh Bagian Pemerintahan Setda Alor secara sepihak kemudian dicetak.
“Sangat memalukan, mediasi yang dipaksa secara arogan dan intimidasi terhadap Ketua DPRD, yang seharusnya melahirkan kesepakatan bersama tapi aneh hanya berisi notulen rapat yang mendiskreditkan/menghakimi saya,” timpal Enny Anggrek.
Rapat klarifikasi itu, tim mediasi meminta maaf kepada Ketua DPRD Alor Enny Anggrek.
Anggota tim mediasi, Dorsila Pulinggomang menjelaskan bahwa tim mediasi tidak punya maksud lain terkait desain logo berjabat tangan warna hitam putih itu. Menurut Dorsila, logo berjabat tangan hitam putih tidak melambangkan rasis seperti disampaikan Enny Anggrek.
Anggota tim mediasi lainnya, Denny Lalitan juga menyampaikan klarifikasi terkait pernyataan gangguan kejiwaan yang dialamatkan kepada Enny Anggrek. Denny Lalitan menekan bahwa pernyataan tersebut hanyalah sebuah praduga dan bukan tuduhan.
Anggota tim mediasi, H. Abdul Kadir Kawali pada kesempatan itu juga menyarankan agar sebaiknya buku yang sudah dibagikan itu dikumpulkan kembali dan dibakar agar tidak lagi menimbulkan polemik berkepanjangan.
Sementara itu, Ketua Tim Mediasi H. Jusran Tahir menjelaskan, buku yang diterbitkan itu isinya memuat tentang sekapur sirih, daftar hadir, foto dan notulen rapat. Didalam notulen rapat, tim mediasi mencatat usul saran dan masukan dari para peserta rapat kemudian dituangkan dalam bentuk buku.
Jusran Tahir menjelaskan, buku itu merupakan dokumen atau bukti dari hasil kerja tim mediasi yang mendamaikan Bupati Alor Amon Djobo dan Ketua DPRD Enny Anggrek. Tujuan dicetak agar menjadi sejarah bagi generasi masyarakat kabupaten Alor bahwa pertama kali sejak kabupaten Alor terbentuk tim mediasi yang ia pimpin berhasil mendamaikan Bupati Alor Amon Djobo dan Ketua DPRD Enny Anggrek.
Mantan Wakil Bupati Alor ini menandaskan bahwa buku yang dicetak jumlahnya terbatas, hanya 10 eksemplar saja.
“Buku ini kami cetak hanya 10 eksemplar saja. Dan sebelum saya bagikan, saya sudah beritahu kepada semua anggota tim mediasi bahwa buku ini tidak boleh disebarluaskan kepada siapapun. Oleh karena itu sampai dengan hari ini kalau ada yang tercecer, wala-wala, kami tidak tahu itu siapa yang sebarkan,” ujar Jusran Tahir.
Jusran Tahir menolak bila buku tersebut dibakar hanya karena faktor lain. Sebab buku itu merupakan hasil kerja keras tim mediasi yang mestinya mendapat apresiasi semua pihak. Sebab kerja keras tim mediasi mendamaikan bupati dan ketua DPRD tujuannya hanya semata-mata untuk kepentingan Alor yang lebih baik.
“Saya tidak setuju buku ini dibakar. Seolah-olah tidak menghargai kerja keras kami tim mediasi. Karena itu kalau buku ini dibakar nanti ada apa-apa lagi kami orang tua tidak mau campur tangan urus damai lagi,” tandas Jusran Tahir sembari menjelaskan buku tersebut adalah hasil kerja tim mediasi yang didokumentasikan melalui Bagian Pemerintahan Setda Alor kemudian dicetak.
Jusran Tahir meminta buku yang sudah dibagikan kepada tim mediasi dikumpulkan semua dan dikembalikan kepada pihaknya untuk disimpan.
Seperti pantauan Wartawan, rapat klarifikasi dipimpin Wakil Ketua DPRD Alor, Sulaiman Singh, SH. Tim mediasi yang hadir yaitu ketua Jusran Tahir dan anggota-anggota Pdt. Yakobus Pulamau, S.Th, Pdt. Condrat Penlaana, S.Th, H. Abdul Kadir Kawali, Dra. Dorsila Pulinggomang, H. Husen Tolang, SH, MH, Drs. Muhammad Bere, Denny Lalitan dan I Made Warta. Sementara Romo Marselinus Seludin, Pr tidak hadir karena memimpin kebaktian pernikahan.
Pada kesempatan itu turut hadir juga Kabag Pemerintahan Setda Alor, Yerike Djobo. *** (joka/tim)