Oleh: Riyani Bela (Anggota KAHMI Alor)
KRISIS ekologi sudah menjadi bagian dari rangkaian persoalan yang telah menyusup ke hampir semua lini kehidupan baik di tingkat lokal, nasional bahkan di tingkat internasional. Banyak kalangan berlatar akademisi, praktisi, LSM sampai pada birokrasi pemerintahan telah banyak memberi perhatiannya kepada persoalan ini. Pertambahan atau peningkatan jumlah penduduk menjadi salah satu faktor yang berpotensi terjadinya krisis ini. Hal ini disebabkan karena pertambahan dan peningkkatan tersebut mengakibatkan adanya peningkatan kebutuhan manusia. Dengan begitu maka pemanfaatan terhadap sumber daya alam dan lingkunganpun ikut meningkat dan pemanfaatan ini akan memiliki dampak terhadap daya dukung dan daya tampug lingkungan sehingga berpotensi terjadilah kerusakan ekologi.
Hal yang sama juga terjadi di kabupaten Alor. Sebagai salah satu kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)), Alor merupakan kabupaten kepulauan yang dibatasi pulau-pulau Maluku di bagian timur, selat Lomblen Lembata di bagian barat, laut Flores di bagian utara, dan Selat Ombay dan Timor Leste di bagian selatan, dengan jumlah hunian penduduk berkisar 217.617 jiwa yang tersebar di 17 kecamatan. Dari 17 kecamatan, satu kecamatan manjadi representasi ibu kota dari kabupaten ini, yaitu kecamatan Teluk Mutiara (Kalabahi) dengan luas kecammata 80,18 km2 dan jumlah hunian di kecamatan ini hampir seperempat dari total hunian penduduk kabupaten Alor yaitu 24,47 %. Dan dari 17 kecamatan pula, terdapat 175 kelurahan-desa, dimana 17 dikategorikan sebagai kelurahan, sementara 158 diantaranya masuk dalam kategori desa (BPS Kab. Alor, 2019).
Secara umum di wilayah perkotaan hampir diseluruh daerah, intensitas aktivitasnya lebih padat dan mobile dibandingkan dengan aktivitas di wilayah pedesaan. Hal ini disebabkan karena di wilayah perkotaan memiliki tingkat kebutuhan dan keinginan yang lebih banyak seperti transportasi, pola konsumsi, gaya hidup, dan pola hidup lainnya yang menghendaki manusia di wilayah perkotaan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan dunia modern. Sudah menjadi hukum alam (keniscayaan) bahwa setiap kegiatan manusia yang dilakukannya pasti memiliki dampak terhadap lingkungan. Maka dengan intensiitas kegiatan di perkotaan yang begitu tinggi, pengaruh dampak terhadap lingkunganpun berpotensi menuai bahkan melebihi batas ketentuan standar baku mutu yang telah ditetapkan.
Kehidupan perkotaan sebagaimana yang telah diungkap diatas, juga terjadi pada kabupaten Alor, sehingga mengakibatkan terjadi krisis ekologi. Faktor yang dapat dijadikan sebagai varabel dalam krisis tersebut adalah maraknya hambuuran sampah yang tak terhimpun, hutan yang mulai menggundul, luapan air limbah yang terus mengalir tak terarah, beningnya air laut yang mulai menghitam, buruknya sanitasi perkotaan dan pasar, sampai pada pemanfaatan lahan yang tak terkontrol. Variabel-variabel inilah yang sering kita jumpai di wilayah perkotaan khususnya kota Kalabahi-kabupaten Alor.
Terdapat 158 desa yang menjadi bagian dari wilayah kabupaten Alor. Desa-desa tersebut, baik yang terintegrasi dalam pulau besar Alor maupun pulau-pulau kecil sebut saja pulau Pura, pulau Ternate, pulau Buaya, sampai pulau Pantar memeberikan sebuah optimisme bagi masyarakat bahwa ekosistem di daerah pedesaan tersebut masih penuh dengan nuansa kealamian. Hutan yang masih menggundul, air laut yang penuh kebeningan, terumbu karang yang masih terawat, atmosfer udara yang belum begitu tersubstrat (terkontaminsai), sampai pada akivitas dan pola hidup masyarrakat yang bersifat tradisional, sangat memberi dukungan kepada keberlangsungan dan keberlanjutan sistem ekologi.
Perkembangan suatu desa yang di indikasikan dengan petambahan peduduk, penggunaan teknologi, dan pemanfaatan alam/lingkungan dapat memungkinkan terjadinya ancaman krisis ekolog, baik dalam jangka waktu menengah maupun panajang. Oleh sebab itu pembangunan penguatan idealisasi wilayah pedesaan perlu untuk lakukan sebagai basis pertahanan desa dalam menangkal ancaman-ancaman krisis ekologi tersebut. Idealisasi desa adalah sebuah kegiatan yang dilakukan oleh perangkat pemerintah desa beserta masyarakatnya secara sinergis degan tujuan untuk meningkatkan produktivitas kehidupan masyarakat desa dengan selalu memperhatikan kemungkinan-kemungkinan dampak yang akan terjadi. Dari segi ekologis kegiatan itu dilakukan dengan berbagai cara seperti pegelolaan, perawatan, pelestarian dan proteksi terhadap eksistensi ekosisitem pedesaan dalam rangka menjaga keberagaman dan kesinambungan antara manusia sebagai mahluk hidup dan lingkungannya.
Karakter masyarakat desa yang cenderung memiliki semangat kolektivitas menjadi modal tersendiri dalam mengajak untuk bekerja sama dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan sosial-kemasyarakatan dengan tujuan pembangunan desa. Dengan begitu maka, akan lebih muda jika pimpinan dan perangkat-perangkat lembaga desa mengajak masyarakatnya untuk menjalankan suatu program kegiatan yang dapat menunjang produktivitas masyarakat tanpa mengganggu kondisi ekologi di wilayah pedesaan masing-masing. Secara kepimpinan, tentu hal ini tergantung dari pimpinan dan perangkat lemabaga desa dalam merumuskan program-program yang berpihak pada keberlangusngan hidup masyarakat desa dan lingkungan ia hidup.
Secara partikular, dari 159 desa di kabupaten Alor, masing-masing memiliki karakteristik yang relatif berbeda, tuntutan masyarakat dan potensi alam yang dimiliki masing-asing desa pun tidak sama antara satu desa dengan desa yang lainnya. Nanum secara umum hampir kebanyakan desa-desa dikabupaten Alor memiliki potensi kekayaan laut, hutan, pertanian serta potensi wisata bahari dan lembah/pegunungan . Dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing desa, maka pemerintah desa dapat mengelola potensi alamnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa yang ada. Dilansir dari kompas tertanggal 17 Februari 2020, anggaran desa untuk tahun 2020 sebesar 72 triliun. Rencana anggaran untuk tahun 2021 masih sama yakni 72 triliun (Kompas, 11 Desember 2020). Anaggaran tersebut akan dialokasikan langsung ke masing-masing dengan rata-rata 960 juta/desa. Anggaran ini merupakan bentuk realisasi program “Nawa Cita” untuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dengan demikian anggaran ini dapat menunjang program-program desa dalam rangka pemberdayaan dan pengebangan ekonomi masyarakat desa.
Alokasi anggaran untuk masing-masing desa yang hampir mencapaii 1 miliar ini menjadi kekuatan dalam memudahkan pimpinan dan perangkat lembaga desa unuk mengimplementasikan program-program pemeberdayaan dan pegembangan pembangunan ekonomi masyarakat desa. Dalam realisasi pelaksanaan program-program desa, ekologi perlu menjadi satu perhatian dalam membingkai dan mengimbangi kegiatan tersebut. Dengan begitu maka upaya untuk menjaga dan merawat ekosistem pada sasaran tempat pelaksanaan program tersebut dapat terjadi.
Pengembangan ekonomi desa di sektor pariwisata misalnya, yang merupakan salah satu potensi pengembangan ekonomi desa yang ada di kabupaten Alor harus memperhatian aspek-aspek ekologi tersebut. Dalam rangka merealisasikan program desa di sektor pariwitas, mulai dari tahap perencanaan sampai kegiatan operasional, dibutuhkan komponen-komponen dasar ekologi sebagai basis dari sebuah perencanaan suatu program, seperti sumber daya air, lahan, keindahan dan kejernian laut, ruang terbuka hijau (RTH), tempat pembuangan sampah (TPS), sanitasi dan komponen ekologi lainnya yang merupakan penunjang implementasi dalam sektor ini. Tentu yang diharapkan adalah keseimbangan dan kesinambungan dalam operasional program dari sektor pariwisata ini. Jika kompnen-komponen tersebut telah kehilangan peran dalam membingkai realisasi program tersebut maka keseimbangan dan keberlanjutan operasional kegiatan di sektor periwisata tersebut akan terhambat bahkan akan mengalami kerusakan ekologi. Jika itu yang terjadi, maka sudah pasti program pemberdayaan dan pengembangan ekonomi masyarakat desa di sektor parwisata pun tidak memiliki daya tarik yang memadai. Hal yang sama juga berlaku pada pelaksanaan program desa di sektor-sektor lainnya.
Selain itu keberadaan desa merupakan aset terpenting dari suatu daerah. Sekalipun kondisi masyarakat desa yang cenderug polos dan lugu, namun desa memiliki banyak sumber daya alam yang masih alami. Sebagian besar dari hasil alam desa, baik yang di laut maupun di darat dapat dialihkan ke kota untuk menunjang kehidupan masyarakat perkotaan. Misalnya perikanan dan hasil laut lainnya, pertaniaan, peternakan, hasil hutan dan kebun, serta potensi-potensi alam lainnya, maka ekosistem dan sumber daya alam pedesaan perlu untuk dijaga dan dikembangkan kelestariannya, sehingga krisis ekologi yang mengancam tidak dapat menerobos batas kelesatarian alam di pedesaan.
Dengan demikian, untuk mewujudkan idealisasi desa sebagai bentuk kekuatan desa dengan memperhatikan aspek masyarakat (sosial), ekonomi, dan lingkungan, masyarakat desa akan hidup dalam atmosfer kehidupan yang ekologis. Selain itu sinergi pemerintah desa dan masyarakat dalam merealisasi program-program desa dapat berjalan secara seimbang dan berkesinambungan dengan selalu memperhatikan keragaman ekosistem yang ada pada desa tersebut. Dengan begitu, laju ancaman krisis ekologi terhadap desa dapat dicegah dengan baik dan kelestarian kealamian desa tetap terjaga. (*)
Sekian dan Terima Kasih…!