Kompetisi Pemilu Yang Semakin Sengit Membuat Politik Uang Menjadi Semakin Rawan

Merlinda Yeany Rosanty Maro

Kalabahi, wartaalor.com – Kontestasi pemilihan umum legislatif, presiden dan wakil presiden yang kompetitif dan kompleks dianggap membuat praktik politik uang kian rawan. Salah satu titik yang paling rawan ialah ketika hari tenang jelang pencoblosan, atau biasa disebut serangan fajar.

Menurut Merlinda Yeanny Rosanty Maro, semakin banyaknya partai dalam pemilu kali ini membuat kompetisi pileg “makin sengit”. Belum lagi calon legislatif harus berkompetisi di internal dan eksternal. Sehingga membuat mereka menempuh perilaku “yang penting menang”. Apapun caranya, karena memang kompetisinya sangat sengit.

Bacaan Lainnya

Tahapan kampanye sudah berlangsung sejak 28 November lalu sampai 10 Februari 2024. Maka tanggal 11 -13 Februari adalah masa tenang dan pada 14 Februari hari pemungutan suara. Menurut Santy Maro, politik uang biasanya menyasar di masa tenang sehingga harus diantisipasi kita semua.

Apalagi, sambung Santy Maro, syarat ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4% membuat para calon legislatif lebih sulit memperoleh kursi di parlemen. Implikasinya, praktik politik uang yang ia sebut sebagai ‘praktik jual beli suara’ kian rawan.

“Salah satu titik yang paling rawan adalah ketika hari tenang, justru mereka bergerilya karena tiga hari terakhir itulah kesempatan terakhir mereka untuk meyakinkan target pemilih. Entah itu secara langsung maupun tidak langsung,” ujar Santy Maro melalui rilis tertulis yang diterima Wartawan, Minggu, 17 Desember 2023.

Menurut Santy Maro, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga yang ditugaskan untuk mengawasi proses penyelenggaraan pemilu harus lebih intensif melakukan patroli pengawasan di kampung dan daerah. Tujuannya untuk memantau serangan fajar yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.

Untuk mencegah terjadinya pelanggaran money politics, lanjut Santy Maro, penyelenggara pemilu harus melakukan sosialisasi soal itu kepada stakeholder, komunitas, pemula, tokoh agama, tokoh masyarakat dan lainnya.

“Mereka itu istilahnya kita katakan pengawasan partisipatif untuk membantu Bawaslu melakukan pengawasan jika terjadi pelangaran money politics dalam pemilihan nanti,” harap Politisi Perempuan yang ramah senyum ini.

Lanjut politisi Partai NasDem yang ikut mencalonkan dirinya pada kontestasi Pileg 2024 di Dapil Alor 1 dengan Nomer Urut 1 ini, ada sebagian yang sudah sadar bahwa ini penyakit demokrasi.

“Tetapi ada juga masyarakat yang masih menolerir politik uang,” imbuh penggagas Pemuda KEREN Kabupaten Alor ini.

Dia pula menuturkan selain merusak demokrasi, politik uang juga merugikan pemilih, dalam jangka pendek atau panjang.

“Pemilih akan selesai transaksinya dengan caleg ketika uang diberikan, padahal transaksi antara pemilih dan yang dipilih itu lima tahun jangka waktunya. Tapi karena dia memilih karena diberikan uang, setelah terpilih dia (pemilih) akan ditinggalkan,” ujarnya.

Sementara, dalam jangka panjang, politik uang adalah cikal bakal praktik korupsi politik.

“Karena biaya politik yang tinggi, kemudian pejabat politik itu ketika menjabat akan berpikir bagaimana mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan begitu besar pada proses kontestasi.

“Ya ujungnya bancakan uang negara dan uang proyek,” cetus Santy Maro panggilan akrabnya.

Mengapa politik uang marak?

Santy Maro berpendapat, politik uang lahir karena ketidakpercayaan kandidat dan tim sukses bahwa mereka bisa menang dengan cara-cara jujur. Selain itu, masalah itu muncul lantaran persoalan dari parpol, khususnya dalam konteks rekrutmen pejabat publik.

Proses rekrutmen yang tidak mengandalkan kapasitas dan rekam jejak yang jelas, menurut Merlinda, melahirkan calon-calon yang instan, yang tidak hanya cukup memasang baliho yang banyak untuk menarik suara pemilih.

“Tidak ada ruang bagi publik dan kandidat untuk membangun kedekatan,” ujarnya.

“Caleg yang instan menurut kami akan cenderung akan melahirkan praktik jual beli suara, apalagi kalau mereka sudah caleg instan, dan mengutamakan modal yang besar,” imbuhnya lagi.

Faktor lain, menurut Santy, adalah pendidikan politik di Indonesia yang masih rendah. Sehingga pemilih belum teredukasi secara maksimal tentang pentingnya pemilu, pentingnya memilih calon yang baik dalam pemilu dan apa konsekuensi dari politik uang.

“Ada masalah yang akan lahir dari politik uang. Pertama, itu akan mencederai kedaulatan pemilih, karena seharusnya mereka bisa melakukan pertimbangan yang lebih baik, kemudian dicederai dengan uang. Kedua, ini akan membuat biaya pemilu semakin mahal dan nanti akan ada korelasinya dengan korupsi politik,” jelas Pemilik Novel Apshara. ***(joka)

Pos terkait