Struktur Sosial; Kesadaran Palsu
KETIKA melihat Pasar Terbakar kita akan disuguhkan dengan pemandangan komoditas komoditas yang di perdagangkan, sayur mayur seperti kangkung, sawi, toge, marungga berjejer berjejer dan bertetangga dengan ikan dengan berbagai macam jenis seperti tembang, belo-belo, lamoru, mulut panjang, ekor kuning. Berjarak sekitar beberapa meter kita temui blok pedagang menjual pakaian-pakaian berdampingan dengan kios-kios kecil yang menjual gula pasir, beras, rokok dan berbagai macam produk lainnya.
Disebelah parkiran motor-motor yang berjejer terlihat petugas dinas perhubungan yang dengan seyum ramah diwajahnya sedang mengatur alur parkiran untuk dimintai ongkos parkir bagi pembeli yang hendak membeli, kemudian kita kadang kadang melihat petugas koperasi dengan ekspresi serius sedang melirik-lirik seolah seorang anak yang baru pertamakali ke pasar disuruh ibunya untuk membeli ikan jenis tertentu ditengah banyaknya ikan yang ditawarkan penjual ikan.
Ketika kita membeli di pasar tebakar kita sering melihat tawar menawar harga, candaan ibu-ibu penjual, perdebatan, hingga adu mulut dari pedagang setempat. Namun ekspresi ekspresi diri masyarakat bukanlah persaingan usaha yang menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan melainkan bagian daripada konsolidasi kolektif untuk meningkatkan produktifitas masyarakat.
Hal ini biasa kita jumpai ketika membeli ikan jenis tertentu disuatu pedagang yang tidak menjual ikan tersebut maka dia akan merekomendasikan untuk membeli ke pedagang lain yang memiliki ikan tersebut. Sembari membeli jika kita menanyakan tentang komiditas barang yang dijual maka pedagang akan menceritakan bagaimana proses produksi komoditas tersebut. Kebanyakan komiditas yang ada di pasar berasal dari perkebunan-perkebunan lokal di daerah seperti alondon, pantar, kabola, air kenari, kampung pisang, batu putih dan berbagai daerah lain. Daerah ini berjarak cukup jauh dari lokasi pasar tempat mereka berjualan. Dengan lokasi pasar yang jauh ditambah biaya produsi dan biaya distribusi dikalikan harga jual maka nilai profit yang didapatkan seorang pedagang tidak dapat menutupi konsumsi rumah tangga. Belum lagi kita menghitung faktor cuaca yang menghambat produksi dan kebutuhan rumah tangga seperti biaya pendidikan dan biaya untuk keperluan lainnya.
Proses produksi didalam masyarakat ini kemudian menghasilkan satu persepsi yang individualistik tentang kondisi sosial ekonomi hari ini yang mengakibatkan suatu pandangan terhadap diri sendiri sebagai entitas tunggal dalam sirkulasi ekonomi (kapital) yang sedang berlangsung. Artinya pedagang pasar inpres sebagai pelaku ekonomi hari ini melihat bahwa kondisi ekonomi yang mereka rasakan, kemudian proses produksi komoditas mereka, harga nilai komoditas, jarak antara ladang ke pasar yang jauh, hasil yang mereka dapatkan dan kebutuhan kebetuhan lain yang belum terpenuhi merupakan nasib mereka yang harus ditanggung pribadi mereka. Inilah yang disebut Kesadaran Palsu oleh Herbert Marcuse.
Sederhananya menjadi Kesadaran Palsu karena masyarakat gagal mengidentifikasikan ketidaksetaraan, penindasan, dan eksploitasi dalam masyarakat kapitalis karena prevelensi di dalamnya pandangan yang menaturalisasi keberadaan kelas sosial.
Padahal jika kita telisik lebih jauh kemiskinan hari ini dikarenakan minimnya lapangan kerja yang disediakan pemerintah, sehingga membuat masyarakat bercocok tanam untuk bertahan hidup. Hasil perkebunan masyarakat kemudian di jual di pasar, sementara jalan jarak dan infrastruktur yang mewadahi pasar tidak memadai. Intinya adalah kebijakan pemerintah sangat berpengaruh terhadap tatanan sosial politik masyarakat.
Struktur Politik; Konsolidasi Kekuasaan
Tatanan sosia-politik masyarakat hari ini sangat di pengaruhi oleh tiga elemen yang dominan. Tiga elemen ini adalah Pemodal, Birokrasi dan Elit Tradisonal. Sukses atau tidaknya roda ekonomi, politik maupun desa sangat dipengaruhi oleh tiga relasi kuasa ini. Sederhananya konsolidasi tiga elemen ini menghasilakan modal, aturan dan pemulus (legitimasi). Pemodal sebagai elemen yang berinvestasi, birokrasi sebagai sebagai eksekutor maupun administrator dan elit tradsional sebagai elemen yang mendapat legitimasi dan dukungan dari masyarakat. Banyak pembangunan dan konspirasi yang lahir dari logika tiga relasi kuasa ini.
Seorang sosiolog Vilfredo Pareto dalam bukunya The Mind & Society mengatakan bahwa setiap masyarakat selalu diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial politik yang penuh. Karena itu elit adalah orang yang mampu mendudukui jabatan tinggi dalam masyarakat.
Sementara Robert menggunakan istilah “Big Man” yaitu kecakapan yang dicirikan oleh kewibawaan atas dasar kemampuan pribad seseorang mengalokasi dan merelokasi sumber daya guna mencapai kepentingannya. Dengan demikian untuk mencapai posisi “Big Man” seseorang harus memiliki kewibawaan yang dapat mempengaruhi dan memanipulasi kelompok lain menurut ukuran masyarakat setempat.
Ironisnya kita sebagai masyarakat cenderung memberikan atribut seseorang berwibawa itu adalah dia dari keturunan A, dia sebagai kepala dinas B, dia orang kaya, dia seorang yang ahli agama, dia adalah pejabat. Pemberian atribut ini kemudian meletakkan orang tersebut sebagai posisi yang spesial di masyarakat. Sehingga perkataan dan tindakan orang-orang ini kita anggap sebagai contoh. Kemudian ini terakumulasi dalam sistem sosial maka segala sesuatu yang dilakukan oleh orang itu kita anggap sebagi lumrah dan kemudian menjadi kebiasaan dan pada akhirnya sensifitas kita terhadap problem sosial menjadi lumpuh.
Masyarakat Satu Dimensi
Menurut Herbert Marcuse ada tiga ciri utama masyarakat industri atau teknologi modern. Pertama, masyarakat berada dibawah kondisi kekuasaan prisip teknologi. Suatu prinsip yang semua thalnya diarahakan untuk memperlancar, memperluas, dan memperbesar produksi.
Kedua, masyarakatnya menjadi irasional secara keseluruhan, sebab terjadi kesatuan antara produktifitas dan destruktif tas, kekutatan produksi tidak digunakan untuk perdamaian melainkan untuk menciptakan potensi-potensi permusuhan dan kehancuran. Ketiga, masyarakat berdimensi satu. Inilah ciri yang fundamental. Segala segi kehidupannya hanya diarahkan pada satu tujuan, yaitu meningkatkan dan melangsungkan satu sistem yang telah berjalan. Manusia tidak lagi memiliki dimensi-dimensi lain, bahkan dengan satu tujuan itu, dimensi lain disingkirkan.
Seperti ketika sore hari saya dari rumah ingin ke pasar tebakar ke arah selatan melalui musem di seberang jalan saya melihat ramainya lalu lintas mobil dan motor berdesakan ingin segara keluar dari jalan raya, alur jalan sebutlah ganjil genap yang dibatasi dengan pembatas jalan seolah menjadi pemicu berdesakannya mobil dan motor yang hendak lewat seolah tak sabar ingin menerobos.
Barangkali ramainya jalan ini karena di lingkungan pasar tebakar yang ramai. Mulai dari penjual yang berasal dari daerah jauh yang harus menggunakan akses mobil bemo untuk mengantar mereka sehingga mengharuskan mobil bemo untuk memarkir di pinggiran jalan. Mobil dan motor yang memarkir di pinggiran jalan ini menyebebkan seolah ruas jalan menyempit. Jika salah jalan karena harus melebar untuk melewati kendaraan yang parkir dapat menyebabkan kecelakaan. Ditambah lagi banyak orang yang harus menyebrang jalan untuk mengambil air bersih untuk keperluan berjualan.
Ramainya pasar tebakar dikarenkan bergabungnya pedagang pasar kadelang. Sebelumnya pasar kadelang berada di kadelang yang arus lalu lintas kendaraan biasanya melewati jalur U karena di letak jalur U pasar kadelang berada. Sehingga mobil bemo maupun motor harus memutar untuk mencari pelanggan yang artinya di jalur utama tidak macet. Kini pasar kadelang pindah ke pasar
tebakar dimana jalurnya utamanya hanya searah sehingga berdampak kemacetan. Dampak dari relokasi pasar ini juga menyebabkan disamping macet pedagang sayur sayuran ataupun ikan yang tidak terwadahi dengan baik dan segmentasi pasarnyapun berbeda. Jika dilihat sebenarnya pasar tebakar belum beroperasi maksimal karena masih dalam status pembangunan, ini bisa dilihat dari atap pasar yang belum rapi. Pembagian tempat jualan sayur, ikan, kios dan lain lain pun belum terstruktur, lokasi parkiran yang tidak sentral dan banyak lagi hal yang belum optimal.
Namun apa daya jika pemerintah sudah berkeyakinan maka jadilah. Gerakan mahasiswa yang pernah berdemonstrasipun tidak dihiraukan apalagi curhatan ibu-ibu di pasar mungkin dianggap sebagai komedi oleh birokrat, bahkan kita puas mungkin pendapatan tahunan kita 2.000.000 (2 juta) sementara ada pejabat pendapatan satu tahunnya sampai 2.000.000.000 (2 M).
Di saat Rapat Anggaran pembangunan daerah yang dilakukan DPRD dan bupati serta pembangunan mungkin yang sedang dilakukan di pasar kadelang ironisnya mungkin ibu ibu pedagang di pasar tebakar pusing karena didatangi oleh koperasi. Inilah satu kondisi pragmatis ironis yang kita hari hari saksikan di mayarakat kita.
Dan ironinya kita menjadi Masyarakat Satu Dimensi yang menganggap bahwa semua ini adalah hal lumrah dan merupakan garis tuhan yang telah ditetapkan. Terserah kondisi ekonomi kita puruk, korupsi dimana mana, jalan yang tidak layak. asal ketika pemilu kita memilih calon pemimpin yang kita anggap ganteng, kaya, dari keturunan ini itu, hebat bicara dan kalau janjinya manis kita coblos. Akhirnya kita sendiri yang menjadi akibat dari kondisi kita hari sendiri. (**)