Menelisik Kinerja Birokasi Pemerintahan Daerah

Oleh: Mu’min Boli / Ketua HIPMA Yogyakarta Tahun 2017

“Jika Kita Tidak Menyibukkan Diri Dengan Kebenaran, Maka Kita Akan Disibukkan Oleh Kebatilan.” -Imam Syafii Demokrasi di Indonesia kini memasuki orde reformasi yang ditandai dengan format yang jauh berbeda dibandingkan dengan demokrasi pada dua orde sebelumnya. Era reformasi tidak bisa dihindari melahirkan sebuah era demokrasi baru yang ditandai dengan perubahan substansial. Dalam satu era bernama reformasi ini kerangka berdemokrasi mengalami berbagai penyesuaian.

Reformasi yang telah berjalan lebih kurang 22 tahun telah memunculkan berbagai perubahan format berpolitik dengan varian metodologisnya di sektor ekonomi dan politik.

Bacaan Lainnya

Kemudian di tengah pandemi COVID-19 ini secara substansi demokrasi memang tidak banyak perubahan dan tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah mengalami penurunan. Ini terkonfirmasi dari bagaimana sikap DPR yang tampak tidak terlalu terusik dengan kelambanan respon pemerintah pusat sejak virus mulai merebak.

Begitupula saat munculnya beberapa kali inkonsistensi kebijakan yang membingungkan masyarakat. Bahkan hingga ketika tidak lancarnya pemberian bantuan sosial yang dikorupsi Menteri sosial dan munculnya pencitraan bagi-bagi sembako, DPR tampak tak bergeming. Meski mulai ada suara-suara
kritis, secara umum nuansa over-protective parlemen kepada pemerintah masih terasa.

Kondisi ini telah menimbulkan saling silang pendapat di jajaran pemerintahan sendiri. Dengan situasi ekosistem politik pada masa pandemi seperti ini, tentu mudah terlihat bahwa esensi politik kita belum mengarah pada penguatan demokrasi, melainkan lebih pada sebuah sikap anti-kritik, birokratisasi, sentralisasi, restriksi, dan peluang oligarchy reinforcement.

Di kabupaten Alor sendiri, konflik kepentingan antara para stakeholder menjadikan birokrasi yang notabene sebagai organisasi publik yang melayani masyarakat menjadi birokrasi yang statis dan menjadikan birokrasi itu sendiri
sebagai kekuatan anti demokrasi. Fenomena akhir-akhir ini yang mencuat adalah soal kisruh DPRD dan Pemerintah Daerah dalam hal mutasi Setwan. Yang tak kalah fenomenal adalah kericuhan sidang DPRD dalam pembahasan Pokok-Pokok Pikiran Anggota DPRD kepada Pemerintah Daerah yang berlangsung di ruang sidang kantor DPRD.

Kemudian juga ditengah krisis akibat pandemi covid-19 ini pemerintah kabupaten Alor malah berencana untuk membangun kantor baru DPRD Alor dengan anggaran sebesar Rp 25.000.000.000 entah apa urgensinya.

Dari segelintir persoalan itu, sebenarnya menjadi pertanyaan besar bagi kita sebagai rakyat yang katanya diayomi untuk menggugat kinerja para stakeholder itu. Pertanyaan sederhana yang muncul ialah sebenarnya bekerja untuk siapa para pejabat dan wakil rakyat itu? Apakah untuk kita masyarakat ataukah kelompok politk mereka? Wallahu a’lam Apakah ini multiplayer effect dari reformasi yang menghasilkan liberalisasi ekonomi dan politik dalam hal ini sistem demokrasi sehingga ada potensi reformasi
dikorupsi pejabat yang tak beretika dan bermoral?

Mari kita Bedah! Demokrasi Sebagai Alat Bukan Tujuan

Negara republik dengan sistem pemerintahan yang menganut sistem demokrasi seperti halnya Indonesia adalah bentuk ideal negara. Dalam sebuah negara demokrasi meskipun terdapat lembaga-lembaga demokrasi; DPR, MPR, dan Pers juga trias politika yang dianut, namun kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan rakyat bukan penguasa apalagi yang lebih dominan dalam peta politik kita adalah pemerintah.

Kekisruhan yang akhir-akhir ini terjadi dan dipertontonkan ke publik akibat konflik kepentingan sudah seyogiyanya harus diakhiri. Karena berdemokrasi bukan hanya dijadikan instrumen pengelolaan administratif saja akan tetapi berdemokrasi harusnya meminimalisir konflik kepentingan yang sering terjadi juga memberikan solusi dalam mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat sehingga Alor menjadi peradaban yang madani.

Bagaimana Alor ini mau jadi “Kenyang, Sehat, Dan Pintar” kalau birokrasinya saja tidak menempatkan rakyat sebagai subjek politik tetapi lebih menitik beratkan terhadap kepentingan kelompok.

Demokrasi seharusnya memberikan harapan kepada masyarakat yang terbingkai dalam kinerja birokrasi yang menjamin hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu, jika demokrasi sebagai instrumen dalam pengelolaan birokrasi maka sudah sepatutnya masyarakat berhak tau dan mendapatkan akses informasi yang transparan dalam penyelenggaraan birokrasi sehingga terbentuk komunikasi dua arah atau bottom-up antara pemerintah dan rakyat. Dampaknya ialah nanti akan terbentuk pemerintah yang transparan dan akuntabel sehingga melahirkan masyarakat yang berkarakter dalam mempercayai pemerintah.

Reformasi Birokrasi dan Konflik Kepentingan Menjadi Birokrasi yang kuat dan mapan tentunya merupakan jawaban atas berbagai tantangan yang dihadapi oleh sebuah bangsa. Namun, sungguh sangat disayangkan kondisi birokrasi kita sebagai pemegang otoritas legitimasi kekuasaan dan pemegang amanah masyarakat Alor sangat jauh dari kondisi ideal.

Birokrasi kita seolah kehilangan roh untuk melaksanakan dua tugasnya utamanya yaitu memberikan kesejahteraan dan rasa aman bagi rakyatnya. Hal ini bisa kita analisis lewat fenomena politik akhir-akhir ini yang mencuat di publik. Tidak perlu kita telisik lebih jauh faktor apa yang menyebabkan itu, sebab yang menjadi masalahnya ialah kurang transparannya pengelolaan birokrasi itu sendiri. Jadi sekiranya fenomena-fenomena yang mencuat itu bisa kita analisis secara simplistik yang pada pointnya ialah setiap kebijakan publik yang keluar dari birokrasi kita tidak sesuai atau kompatibel dengan kebutuhan masyrakat.

Akibatnya, ketidaksesuaiaan antara masalah dan cara penyelesainnya menyebabkan konfigurasi politik dan ekonomi berubah drastis, tanpa ada satu pihak pun yang mampu mengendalikan perubahan itu bahkan birokrasi itu sendiri. Dari situ bisa kita asumsikan bahwa saat ini para pejabat kita tidak menjadi representasi masyarakat, tetapi lebih sebagai representasi kepentingan dari keluarga dan partai politik Lantas kalau sudah demikian ekosistem politik kita, pertanyaan penting yang mucul ialah reformasi birokrasi seperti apa untuk membenahi kusamnya birokrasi kita? Berbicara tentang birokrasi maka image yang muncul ialah negatif.

Dan kita tidak perlu menafikan itu sebab kondisi objektif yang terjadi saat ini mengafirmasi itu. Nahasnya lagi ialah masyarakat kita tidak punya daya dan kuasa untuk bisa mengontrol para pejabat birokrat saat ini. Maka dari itu birokrasi pemerintahan harus membenahi dirinya menjadi lebih profesional dan mempunyai akuntabilitas. Birokrasi seharusnya dalam melakukan berbagai kegiatan harusnya
yang menjadi titik acuan ialah kepuasan masyarakat dan menempatkan masyarakat sebagai pengguna jasa.

Ada tiga point penting yang perlu diperhatikan dalam paradigma birokrasi modern. Pertama ialah Birokrasi harus sebagai katalisator, dalam artian lebih baik menyetir daripada mendayung. Artinya ialah birokrasi harusnya kreatif dalam membuat program signifikan yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat. Jangan dalam menjalankan sistem kekuasaan hanya agenda formalitas belaka tanpa target dan tolak ukur yang jelas.

Yang kedua ialah birokrasi adalah milik masyarakat, jadi lebih baik memberdayakan daripada melayani. Maksudnya ialah dalam menjalakan kinerjanya birokrasi harus menghadirkan terobosan-terobosan brilian dalam memberdayakan masyarakat sehingga muncul sikap kemandirian dan pada akhirnya ketergantungan masyarakat pada birokrasi akan sedikit berkurang.

Upaya membentuk birokrasi yang menekankan pada pemberdayaan masyarakat jelas akan semakin menguatkan budaya politik di masyarakat Alor.

Terakhir ialah menjadikan Birokrasi yang kompetitif. Artinya jika memasukan semangat kompetisi di dalam pengelolaan birokrasi maka akan muncul kinerja prima dan optimal dalam pemberdayaan masyarakat. Sebab nantinya menjadikan setiap birokrasi kelembagaan saling bersaing dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi untuk kepentingan masyarakat seutuhnya.

Akhirnya, dengan ketiga prinsip di atas, diharapkan birokrasi kita akan menjadi lebih akuntabel dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga segala macam kekisruhan akibat konflik kepentingan kelompok bisa terhindarkan serta dapat menjadikan Kabupaten Alor menjadi peradaban yang maju dan modern. Aamiin Allahuma Aamiin

Pos terkait