PENGUATAN PERSATUAN DALAM POLITIK KEBANGSAAN

Oleh: Riyani Bela Pengajar Institut Sains dan Teknologi Nahdlatul Ulama Bali (ISTNUBA) Denpasar

INDONESIA adalah negara kebangsaan, yang secara politik, individu dari manusia yang berasal dari berbagai bangsa, suku/etnis, dan ras melakukan sebuah interaksi atau kontak sosial dan dari kontak sosial tersebut terbangun suatu kesepakatan dalam sebuah komunitas yang disebut sebagai Negara Kestuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia memiliki keleluasan teritorial secara geopolitik dan memiliki berbagai karakter dari individu-individu yang berpadu dalam satu kekuatan yang memiliki kesamaan tujuan dan cita-cita emansipasi yang berakar dari kesamaan pengalaman. Pengalaman ketidakadilian, perampasan kebebasan, pertumpahan darah, pengaliran air mata sampai pada kesamaan perlawanan demi mencapai kemerdekaan yang abadi dari perlakuan dehumanisasi dari kaum kolonial.

Secara sosiologis, perjuangan bangsa Indonesia berangkat dari hasrat dan keinginan individu dari berbagai golongan atau tingkatan sosial, baik secara stratifikasi maupun diferensiasi untuk menyatukan diri dalam sebuah perhimpunan besar. Perasaan penyatuan ini di bangun atas dasar adanya perlakuan yang tidak manusiawi dari berbagai kegiatan kolonial yang mencoba menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat nusantara baik secara politik, ekonomi, hukum, penguasaan potensi alam, sampai pada aspek kemanusiaan yang paling mendasar yakni perampasan terhadap hak asasi manusia. Dengan dasar itu timbullah suatu desakan perasaan dalam diri untuk penguatan tekad dalam mengusir semua tindakan-tindakan dehumanisasi yang dilakukan oleh kolonial.

Bacaan Lainnya

Dilihat dari kacamata historis kesadaran penyatuan keragaman ini tidaklah terlepas dari sebuah penempuan pendidikan baik yang berbasis pada pendidikan sekuler maupun agama, baik yang dalam maupun luar negeri. Dengan dasar pendidikan inilah para pelajar intelegensia dari berbagai kalangan mulai menyadari bahwa dirinya telah dikhianati oleh kalangan orang yang sebenarnya tidak memiliki kepentingan di tanah nusantara ini dan kemudian mencoba untuk memberikan satu kekuatan penyatu dalam sebuah perhelatan dimana kekuatan penyatu itu terinstitusi dalam satu kekuatan gerakan yang sering kita sebut sebagai “Sumpah Pemuda 1928”. (Walaupun sebelum lahirnya gerakan ini, sudah ada suatu gerakan sebelumnya yang menghimpun intelejensia yang hanya terbatas pada pulau jawa, Bali, dan Sumatera yang dikenal dengan “Budi Utomo” 1908).

Gerakan pemuda ini terus berlanjut, dimana semua perhimpunan proto nasionalisme pada waktu itu yang orientasi gerakannya dibawah basis kultural telah di alihkan ke sebuah gerakan yang berorientasi pada politik dan hasil gerakan-gerakan tersebut menemui puncak klimaksnya pada kemerdekaan 1945. Hasil ini tentunya dilalui oleh semangat keberanian dan kesucian serta ketulusan hati dan semangat ini tersimbolkan dengan dua helai kain merah dan putih yang memiliki filosofi keberanian dan kesucian.

Deskripsi di atas megindikasi bahwa hadirnya bangsa Indonesia yang terinstitusi dalam sebuah kekeuatan politik yang disbut dengan Negara, bukan hanya di perjuangkan oleh satu golongan untuk golongan itu saja, bukan satu etnis/suku untuk etnis/suku itu saja dan bukan satu agama untuk agama itu saja, namun perjungan satu untuk semua dan semua untuk semua. Maka semua suku dan etnis serta agama tentunya terlibat dalam proses perjuangan tersebut. Nah kekuatan sosial-budaya dari persatuan itu kemudian di semboyankan sebagai “Bhineka Tunggal Ika” yang menjadi basis dari semangat nasionalisme. Namun timbul buah pertanyaan, mungkinkan kita mampu menjaga kekuatan persatuan yang telah di bangun dari berbagai etnis dan gologan ini? Akankah persatuan itu akan tetap eksis sebagai satu kekuatan nasionalisme? Ataukah malah akan runtuh dan terpecah belah oleh berbagai macam kepentingan dan keegoisan dari satu golongan? tentu pertanyaan ini memberikan kontak berpikir bagi kita selaku orang yang telah menikmati hasil dari sebuah perjuangan kemerdekaan.

Tujuan lahirnya kemerdekaan adalah untuk menyatukan semua golongan dalam rangka menjalin hubungan yang harmonis antar sesama individu/golongan tanpa ada sebuah perampasan dan penindasan diantara satu dari yang lain serta terpenuhinya semua kebutuhan yang dibutuhkan setiap individu dari tiap-tiap manusia Indonesia.

Multicultur dan multikarakter dari manusia Indonesia yang terhimpun merupakan ciri khas dari Indonesia itu sendiri yang perlu dirawat kesuburannya. Setiap golongan tentu memiliki identitasnya masing-masing. Identitas inilah yang menjadi bentuk pembeda karakter golongannya dengan golongan yang lain. Maka demi menjaga kelestarian identitas dari masing-masing golongan maka dipandang perlu untuk membangun dan menjaga semangat tolenasi, kerukunan, dan saling menghargai antar bangsa dan etnis yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Dengan demikian, esensi persatuan bukanlah peleburan dalam satu masyarakat Indonesia, namun hanyalah bersatu padu dalam satu kekuatan, cita-cita dan tujuan. Karena ketika kita menggap makna persatuan adalah sebuah peleburan maka pada waktu bersamaan kita telah menyalahi prinsip indentitas dari suatu golongan. karena identitas itu merupakan tanda perkenalan dari suatu entitas atau golongan yang tak dapat ditiadakan dari dirinya.

Semua bangsa yang terhimpun dalam kebangsaan besar tentu harus menjaga kekerabatan antar sesama dalam rangka mempertahankan keutuhan dan kesatuan masyarakat indonesia. Karena bangsa kecil (golongan etnis) merupakan satu komunitas yang memiliki batas-batas tertentu seperti diutarakan oleh Anderson (1991), bahwa bangsa merupakan suatu “konsep kultural” tentang suatu komunitas politis yang secara keseluruhan dibayangkan sebagai kerabat yang bersifat terbatas dan berdaulat. Sehubungan dengan ungkapat tersebut, komunitas golongan kecil tak mampu berjuang secara sendiri. Apabila golongan kecil ini mampu berjuang secara sendiri sesuai dengan kekuatannya sendiri, maka visi penaklukan kolonial terhadap nusantara mungkin lebih lama dari 3,5 abad. Maka dengan kekurangan keterbatasan teresbut ia membutuhkan hubungan dengan bangsa kecil lainnya dalam mengisi keterbatasannya itu oleh kekuatan bangsa kecil lainnya. Maka disitulah ikatan kekuatan persatuan dapat terlihat demi merebut dan menjaga kedaulatan bangsa. Ketika bangsa kecil itu kembali mempertahankan keterbatasannya maka potensi perpecahan bangsa yang besar ini akan mengalami perpecahan kembali.


Kondisi mempertahankan keutuhan dan kesatuan kedaulatan bangsa dalam suasana kemerdekaan sampai saat ini tentunya kita selalu di perhadapkan oleh berbagai tentangan yang menuntut kita untuk terpecah dari kekuatan persatuan. Multitantangan ini berbanding terbilik dengan ciri khas masyarakat Indonesia plural. Baik tantangan yang datang dari faktor internal maupaun eksternal. Salah tatu tantangan yang sangat berat dihadapi dan memiliki potensi perpecahan bagi penguatan persatuan adalah modernisme. Sebuah paham yang datang dari “si anak pencerahan” Cartesian di eropa yang mengunggah dunia. Dimana semua orientasi kehihidupan berpusat pada manusia (antroposentrisme).

Paham ini memiliki pandangan dualitas yang melahirkan pemisahan antara unsur yang bersifat subjek dan objek. Jadi semua objek di luar subjek dianggap sebagai sebuah kehadiran untuk kepentingan sang subjek. Artinya setiap individu manusia selelu menonjolkan dirinya sebgai pemilik sesuatu dan tak mempedulikian sesuatu yang di luar dirinya. Pandangan ini memiliki unsur dan corak “egoisme” dalam diri setiap individu maupun dalam kelompok. Maka aspek modernisme menjadi satu tantangan yang dapat mendobrak kekuatan persatuan.


Hadirnya modernidme ini memberikan implikasi yang signifikan terhadap perpecahan kesatuan bangsa indonesia di dikerenakan beberapa hal, yaitu; Pertama, Lahirnya sebuah pandangan dan perasaan akan keunggulan ras, suku, dan etnisnya sendiri. Artinya kita mengungguli suku/etnis kita dan menganggap suku/etnis lain adalah bangsa yang di pandang sebagai minoritas yang lemah akan karakternya dan yang tak memiliki peran dalam mengisi kekuatan kebangsaan Indonesia sehingga dalam menjalankan fungsi kenegaraan dalam kebangsaan, bangsa tersebut sering dinomorsekiankan. Hal ini berangkat dari sifat dasar kelemahan manusia yang selalu mengakuai dirinya lebih tinggi dibandingkan orang lain sehingga inilah yang dibangun dalam karakter kolektif suatu etnis. Kedua, Mengangap bangsa lain hanya sebagai objek pelengkap formal dari kebangsaan yang besar, artinya peran dan fungasi bangsa itu hanya sebagai kelengkapan administrasi dalam menunjukkan kekuatan, keluasan, dan keragaman kepada kanca internasional bahwa Indonesia adalah kaya dalam segala aspek. Ketiga, Mendikotomikan bangsanya dari bangsa lain, artinya telah manganggap bahwa kekuatan suku dan etnisnya adalah kekuatan superioritas yang tak mau lagi membutuhkan peran dari suku dan etnis lain.

Melihat ketiga aspek diatas, maka Indonesia dapat mengalami apa yang disebut Nurcholish (2008) sebagai “semangat navitisme” yang bersifat kedaerah dan kesukuan yang berpotensi memecah belahkan kesatuan dan keutuhan yang kosmopolit. Maka dalam menghadapi tantangan yang memiliki potensi besar dalam menghancurkan persatuan bangsa, semua golongan dari kalangan suku/etnis yang telah terhimpun dalam bangsa ini harus mengingat dan meresapi kejadian apa saja yang sudah dilakukan oleh para pejuang dan merenungi bagaimana jerih payahnya perjuangan itu dalam perjalanan sejarahnya. Dengan kata lain jangan sampai sejarah menjadi sebuah kenangan yang tak memeiliki arti dan perannnya dalam mempertahankan sebuah bangsa.
Alhasil, sejarah merupakan satu aspek yang tak boleh dilupakan oleh semua anak bangsa. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Bung Karno bahwa “jangan sekali-kali kita melupakan sejarah (amnesia sejarah)”. Disamping itu anak bangsa pun harus melepaskan diri dari cekungan romantisme sejarah. Artinya sejarah bukan sebagai sesuatu yang harus terbayangkan dalam angan-angan pikiran dan membuat kita terobsesi oleh hasil yang telah dicapai oleh pejuang kita terdahulu, namun sejarah sebagai sebuah garda penting yang terdapat spirit dalam mempertahankan dan mengembangkan apa yang telah di peroleh. Oleh karena itu, hal terpenting yang perlu diambil dari sejarah kata Kuntowijoyo (2007) adalah spririt dan pesan moralnya bukan peristiwa empirisnya dan data historisnya. Karena pesan dan spirit itulah yang akan menjadikan pondasi atau landasan filosofi dalam membangun, mempertahankan, dan memperkuat suatu entitas kekuatan bangsa dari masyarakat yang majemuk.

Disamping itu, sebagai upaya mempertahankan dan memperkuat keutuhan bangsa, sebagai anak bangsa kita dituntut memperbaiki kondisi sejarah yang telah ada dengan menciptakan sejarah baru atas nama perubahan. Dengan kata lain bangsa ini harus terus dirawat dan jangan sampai ia telah digerakan oleh sejarah yang datang dari luar karekternya. Maka dengan itu keadaan sejarah menjadi sesuatu yang sangat urgen dalam meneruskan perjalanan bangsa indonesia yang telah diwariskan ini. Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-76, semoga niat dan langkah kita dalam menjaga keutuhan bangsa dan Negara akan terus berlanjut. Sekian dan Terima Kasih…!!. (***)

Pos terkait