Kalabahi, wartaalor.com – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur menolak gugatan sengketa Ketua DPRD Kabupaten Alor, Enny Anggrek, SH melawan Badan Kehormatan DPRD. Dalam amar putusan melalui laman sipp.ptun-kupang, Senin, 7 Agustus 2023 pada intinya majelis hakim PTUN berpendapat pemberhentian Enny Anggrek dari jabatannya oleh Badan Kehormatan sudah benar sesuai ketentuan.
Terhadap putusan perkara itu Enny Anggrek menilai ada kejanggalan, sehingga Ia melalui Kuasa Hukum Marthen Maure, SH naik banding ke PT TUN Mataram. Upaya hukum lanjutan ini bagi Enny Anggrek tidak lain hanya untuk tegakkan keadilan dan kebenaran.
“Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang yang tertunda dari tanggal 4 Agustus ke 7 Agustus 2023 pukul 02.00 siang, ternyata hasilnya pukul 22.42 baru dikasih naik. Ini memang sangat aneh dan merupakan suatu kejanggalan. Tunda dari tanggal 4 ke tanggal 7 saja sudah aneh,” ujar Enny Anggrek kepada Wartawan di rumah jabatannya, Selasa, 8 Agustus 2023.
Hal lain yang aneh dan janggal menurut Enny yaitu majelis hakim menerima eksepsi tergugat dua tiga dan empat. Lalu pada poin 2 majelis hakim menolak tergugat satu dan tergugat dua.
“Di atas yang poin pertama itu kan menerima sangat aneh lalu menolak gugatan penggugat secara keseluruhan. Jadi dasar ini saja kita sudah melihat ada kejanggalan. Ada pertimbangan majelis hakim yang bagi kami tidak sesuai dengan fakta persidangan,” tandasnya.
Ketua DPC PDI-P Kabupaten Alor ini membeberkan hal lain yang menurutnya juga aneh yaitu pada saat memasukkan kesimpulan tanggal 18 Juli lalu. Ketika itu majelis hakim meminta penggugat memasukkan berkas kesimpulan secara online. Sementara dari pihak tergugat diminta memasukkan fisik tertulis.
“Jadi kami punya itu kasih masuk kesimpulan secara online, sementara mereka (tergugat) tidak. Bawa fisik saja, ini kan aneh,” terang Enny.
Hal lain juga yang menjadi aneh, menurut Enny adalah dalam fakta persidangan tergugat tidak menunjukan bukti fisik Peraturan DPRD Nomor 3 tahun 2019 tentang Kode Etik DPRD yang menjadi dasar rujukan Badan Kehormatan memberhentikan dirinya dari Ketua DPRD. Tetapi majelis hakim justru berpendapat produk hukum Peraturan DPRD tersebut ada.
“Pada waktu persidangan tertunda sampai 5 kali karena menunggu pembuktian Peraturan DPRD Nomor 3 dan 4. Tetapi tergugat bawa yang foto copy dan diduga mereka palsukan tandatangan saya dengan pak Hopni Bukang mantan sekretaris daerah,” tandasnya.
Enny menandaskan, sidang PTUN adalah sidang pembuktian fisik maupun administrasi, tetapi kenapa sesuatu yang jelas-jelas tidak bisa dibuktikan justru dianggap benar. Ia menduga majelis hakim kemasukan angin, kepala sakit, pusing dan lain-lain sehingga tidak mencermati perkara ini dengan baik.
Selain banding, Enny menegaskan akan melaporkan juga majelis hakim PTUN Kupang ke Komisi Yudisial Republik Indonesia untuk diproses sesuai ketentuan yang berlaku. ***(joka)