Krisis Etika Publik Melanda Anggota DPRD Alor

Oleh: Kamarudin Dato
(Ketua HIPMA Alor-Yogyakarta)

Bacaan Lainnya

“Tidakkah yang paling berat itu adalah ini: merendahkan diri untuk membunuh keangkuhan? Mempertontonkan ketololan untuk mencemooh kebijaksanaan kita sendiri?” -Nietzsche-

Sebagai masyarakat Kabupaten Alor yang sedang menempuh pendidikan di tanah rantau, kita sebagai generasi muda yang akan mengabdikan diri untuk kemajuan daerah, tidak boleh menutup mata melihat perkembangan daerah sampai sejauh ini. Walaupun tidak berada di tanah kelahiran sendiri, namun setidaknya buih-buih pemikiran kita sebagai generasi terdidik yang sedang menempuh pendidikan tinggi di tanah rantau mesti memberikan sumbangsih pada gerakan yang berorientasi pada kemajuan daerah. Setidaknya perhatian kita kepada daerah berupa pemikiran dan kritik yang konstruktif ialah wujud kasih sayang dan aktualisasi spirit pengabdian kepada daerah tercinta.

Akhir-akhir ini, kita disuguhkan oleh beberapa berita mengenai keributan yang terjadi dalam rapat anggota DPRD Kabupaten Alor. Pada hari Selasa, 5 Mei 2020 kericuhan terjadi saat sidang kode etik 5 anggota DPRD Alor. Selanjutnya, Selasa, 17 November 2020 kericuhan juga terjadi pada saat sidang paripurna DPRD Alor pembahasan RAPBD Kabupaten Alor berlangsung. Dan yang terbaru, kericuhan  terjadi pada Rabu, 27 Januari 2021 pada saat sidang paripurna pembahasan Pokok-Pokok Pikiran Anggota DPRD kepada Pemerintah yang berlangsung di ruang sidang kantor DPRD.

Berdasarkan beberapa berita kericuhan anggota DPRD Alor diatas, maka sebagai generasi muda yang peduli, kita harus menanggapinya secara serius. Seyogyanya, masyarakat juga perlu khawatir dan curiga dengan gerak-gerik perwakilannya yang duduk manis di Gedung DPRD Kabupaten Alor. Sebab, pada saat pemilihan umum berlangsung, suara rakyatlah yang menentukan siapa yang pantas duduk di kursi empuk sebagai anggota dewan yang katanya “terhormat”.  Kekhawatiran dan kecurigaan masyarakat harus diorientasikan pada kinerja dan etika public anggota DPRD Alor sebagai representasi masyarakat.

Persoalan pokoknya ialah sejauh mana anggota DPRD Alor mendengar aspirasi masyarakat dan diperjuangkan dalam sidang DPRD untuk kemudian ditindaklanjuti. Karena, anggota dewan adalah representasi dari masyarakat yang harus mendengar tuannya. Sejauh ini, apakah masyarakat juga pernah dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan publik? Padahal masyarakatlah yang paling merasakan dampak dari semua kebijakan publik. Artinya bahwa, jangan sampai masyarakat hanya dilibatkan pada saat pemilihan umum saja, dan setelah terpilih mereka malah sibuk bagi-bagi jabatan atau mutasi lawan politik.
Disisi lain, terdapat keterbatasan untuk mengakses informasi-informasi publik melalui website resmi Pemda dan instansi-instansi kedinasan lainnya.

Padahal, di zaman serba digital mestinya informasi-informasi public yang berkaitan dengan kinerja Pemda, DPRD dan instansi kedinasan lainnya lebih mudah untuk diakses oleh masyarakat. Nyatanya, yang dipertontonkan kepada masyarakat hanyalah kericuhan-kericuhan yang terjadi dalam proses persidangan. Sebagai publik figure dan representasi dari masyarakat, anggota DPRD harus menjaga marwah dan etikanya di depan publik. Karena, tugas dan tanggungjawab anggota DPRD adalah mewujudkan kepentingan masyarakatnya, maka aktualisasinya bukan dengan mempertontonkan kericuhan saat sidang berlangsung.

Saat ini masyarakat hanya membutuhkan peran Pemda dan wakil rakyat untuk memperhatikan kondisi masyarakat di tengah pandemi covid-19. Namun, ada satu hal yang miris untuk kita ketahui bersama, bahwa ditengah krisis akibat pandemi covid-19 pemerintah kabupaten Alor malah berencana untuk membangun kantor baru DPRD Alor dengan anggaran sebesar Rp. 25.000.000.000. Maka tidak salah jika kita menghadirkan satu anggapan sederhana bahwa “Jika anggota DPRD Alor merasa nyaman dengan fasilitas yang disediakan maka secara otomatis masyarakat pun ikut merasa nyaman dan tentram”.

Mudah-mudahan anggapan tersebut hanya mimpi disiang bolong dan kalaupun memang begitu adanya maka sudah sewajarnya jika masyarakat bersatu dan melakukan aksi protes.

Harapannya, DPRD Alor dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat yang bertanggung jawab dengan janji-janji politiknya semasa kampanye serta mampu memposisikan diri sebagai dewan perwakilan rakyat yang profesional dan berintegritas tinggi. Setidaknya semua anggota DPRD Alor mempunyai visi mulia untuk membangun Alor dengan komitmen dan loyalitas tanpa batas. Sudahi pertengkaran, saatnya membangun Alor.

Salam Taramiti Tominuku!!!

Pos terkait